Rabu, Desember 02, 2009

boraks

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akibat kemajuan ilmu teknologi pangan di dunia dewasa ini, maka semakin banyak jenis bahan makanan yang diproduksi, dijual, dan dikonsumsi dalam bentuk yang lebih awet dan lebih praktis dibandingkan dengan bentuk segarnya. Berkembangnya produk pangan awet tersebut hanya mungkin terjadi karena semakin tingginya kebutuhan masyarakat perkotaan terhadap berbagai jenis makanan yang praktis dan awet.
Produksi dan suplai produk jadi yang awet biasanya dilakukan secara sentral dalam pabrik pengolahan dan pengawetan makanan. Dengan demikian waktu yang diperlukan untuk menyiapkan sajian sampai siap untuk dapat disantap dapat dipersingkat, dengan hasil makanan yang sama lezatnya seperti bila diolah sendiri dari bahan segar. Di kalangan konsumen pangan masih sering terjadi kontroversi mengenai penggunaan bahan tambahan makanan di industri pangan, khususnya mengenai resiko kesehatan, terutama yang berasal dari bahan sintetik kimiawi. Sebab masalah keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia, tetapi juga telah menjadi masalah setiap orang.
Kebanyakan makanan yang dikemas mengandung bahan tambahan, yaitu suatu bahan yang dapat mengawetkan makanan atau merubahnya dengan berbagai teknik dan cara. Bahan Tambahan Makanan didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi khas makanan, dapat bernilai gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan ke dalam makanan dengan sengaja untuk membantu teknik pengolahan makanan (termasuk organoleptik) baik dalam proses pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan produk makanan olahan, agar menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu makanan yang lebih baik atau secara nyata mempengaruhi sifat khas makanan tersebut. Jadi kontaminan atau bahan-bahan lain yang ditambahkan ke dalam makanan untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu gizi bukan merupakan bahan makanan tambahan.
Bahan tambahan makanan digunakan di industri-industri makanan untuk meningkatkan mutu pangan olahan, dan penggunaan bahan tanbahan makanan tersebut dibenarkan apabila memiliki peranan sebagai berikut :
1. Untuk mempertahankan nilai gizi makanan
Sebagai contoh, penambahan bahan antioksidan seperti BHA (butil hidroksianisol) dalam pengolahan vitamin A akan mempertahankan potensi vitamin tersebut bila ditambahkan pada makanan.
2. Untuk orang tertentu yang memerlukan makanan diit
Misalnya penambahan bahan pemanis buatan seperti sakarin ke dalam makanan atau minuman, sehingga tidak menambah kalori ke dalam makanan tersebut.
3. Untuk mempertahankan mutu atau kestabilan makanan atau untuk memperbaiki sifat-sifat organoleptiknya hingga tidak menyimpang dari sifat alamiahnya, dan dapat membantu mengurangi makanan yang dibuang atau limbah.
4. Untuk keperluan pembuatan, pengolahan, penyediaan, perlakuan, pengemasan, dan pengangkutan.
5. Membuat makanan menjadi lebih menarik
Penggunaan bahan tambahan makanan seperti pewarna dan bahan pemantap tekstur memperbaiki bahan baku yang bervariasi sehingga nantinya produk akhir mempunyai penampakan, rasa, serta penampilan yang selalu sama setiap waktu.

B. Tujuan
Praktikum yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya boraks yang merupakan zat pengawet pada makanan sampel yang diuji atau diperiksa yaitu mie.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasam atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Bahan tambahan ini biasanya ditambahkan ke dalam makanan yang mudah rusak atau makanan yang disukai sebagai medium tumbuhnya bakteri atau jamur misalnya pada produk daging, buah-buahan, dsb. Pertumbuhan bakteri dicegah atau dihambat tergantung dari jumlah pengawet yang ditambahkan dan juga pH/keasaman dari makanan.
Menurut Encyclopedi Britanica dan Encyclopedi Nasional Indonesia, kata boraks berasal dari kata Arab yaitu Bauraq dan istilah melayunya tingkal yang berarti putih, merupakan kristal lunak yang mengandung unsur boron, tidak berwarna dan mudah larut dalam air. Boraks merupakan garam Natrium Na2B4O710H2O, yang banyak di gunakan di berbagai industri nonpangan, khususnya industri kertas, gelas, pengawet kayu dan keramik.
Boraks terjadi dalam suatu deposit hasil dari proses penguapan “hot spring” (pancuran air panas) atau danau garam. Boraks termasuk kelompok mineral borat, suatu jenis senyawa kimia alami yang terbentuk dari Boron (B) dan Oksigen (O). Boraks erat kaitannya dengan asam borat, dan kemungkinan besar daya pengawetan boraks disebabkan karena adanya senyawa aktif asam borat (asam borosat).
Boraks secara lokal dikenal sebagai air ”bleng”, ”garam bleng” atau ”pijer’. Disamping itu boraks juga digunakan dalam industri makanan seperti industri pembuatan mie, lontong, ketupat, pembuatan gendar. Konon pembuatan bakmi pabrik dan makaroni biasanya menggunakan asam boraks murni, suatu kristal putih produksi industri farmasi (Winarno,1994).
Sementara itu, Kepala Disperindag Pemprov Kalbar RN Silalahi mengatakan, tindakan memasukkan boraks ke dalam makanan melanggar UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan khususnya Pasal 21. Intinya, makanan yang mengandung bahan beracun dilarang diproduksi. Selain itu, perbuatan para produsen juga melanggar PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan (Anonim, 2005).
Toksisitas Boraks
Masalah boraks dalam makanan timbul di Asia, dan larangan penggunaan telah dilakukan khususnya di Thailand (1977), Indonesia (1979) dan Malaysia (1984). Apabila konsumen mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks, tidak serta merta berdampak buruk terhadap kesehatan. Tetapi boraks yang sedikit tersebut diserap dalam tubuh konsumen secara kumulatif. Di samping melalui saluran pencernaan, boraks dapat diserap melalui kulit. Dan boraks yang terlanjur terserap ke dalam tubuh dalam jumlah yang kecil dikeluarkan melalui air kemih dan tinja, serta sangat sedikit melalui keringat (Winarno, 1994). Konsumsi boraks yang tinggi jumlahnya dalam makanan dan terserap dalam tubuh akan disimpan secara kumulatif dalam hati, otak atau testis (buah zakar).
Lee dkk (dalam Winarno, 1994) menyatakan bahwa boraks dapat berpengaruh buruk seperti mengganggu berfungsinya testis (testicular). Kerusakan testis tersebut terjadi pada dosis 1170 ppm selama 90 hari dengan akibat testis mengecil dan pada dosis yang lebih tinggi yaitu 52 – 50 ppm dalam waktu 30 hari dapat mengakibatkan degenerasi gonad.
Wen dan Fisher tahun 1972 (dalam Winarno, 1994) mengutarakan bahwa boraks relatif kurang beracun apabila dikonsumsi melalui oral karena memiliki batas keamanan (reasonable margin of safety) antara dosis keracunan pada binatang dan jumlah yang sesungguhnya dikonsumsi manusia. Dalam dosis yang cukup tinggi dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, kram perut, cyanis, kompulsi. Pada anak kecil dan bayi bila dosis dalam tubuhnya sebanyak 5 gr atau lebih dapat menyebabkan kematian, sedang untuk orang dewasa, kematian terjadi pada dosis 10 – 20 gr atau lebih.
Bakso dan Mie
Mie dan bakso merupakan jenis makanan yang tergolong jenis makanan yang tergolong paling digemari di Indonesia pada umumnya terbuat dari daging sapi, tetapi dapat pula dibuat dari jenis daging lain, termasuk daging ikan. Dalam pembuatan bakso disamping daging, diperlukan bahan-bahan lain seperti, pati, es, bumbu-bumbu serta bahan kimia lain. Pada beberapa pembuat bakso komersial, beberapa zat kimia ditambahkan khususnya boraks dan tawas. Biasanya boraks dengan dosis 0,1 – 0,5% (dari berat adonan) dicampurkan ke dalam adonan, untuk mendapatkan produk bakso yang kering, kesat atau kenyal teksturnya.
Tawas (Al(SO4)3) adalah senyawa kimia berupa kristal bening. Tawas dilarutkan ke dalam air (1 – 2 gr/liter) dan air tersebut kemudian digunakan untuk merebus bakso, sisa air rebusan kemudian dibuang. Untuk menghindari bakso yang gelap, beberapa pengolah bakso kadang-kadang menggunakan bahan pemutih yang disebut Tetanium Dioksida (TiO2) sekitar 0,5-1%. Disamping senyawa-senyawa tersebut, adonan bakso masih sering ditambah dengan STPP yaitu suatu garam Natrium Tripolyphospat untuk keperluan perbaikan tekstur dan meningkatkan daya cengkeram air. Meskipun begitu STPP secara umum diijinkan dan telah banyak digunakan dalam makanan.
Sebetulnya pembuatan bakso tidak harus menggunakan berbagai bahan kimia. Dari percobaan mahasiswa Fateta IPB, bakso dapat dihasilkan dengan baik asal menggunakan air es yang bersih, biasanya cukup dengan STPP 0,25% dan dengan bahan pengawet Kalium Karbonat atau Natrium Karbonat sebagai pengganti boraks.















BAB III
ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA
A. Alat
• Timbangan dan pemberat
• Mortar
• Cawan porselin
• Water bath
• Kompor listrik
• Tinance
• Tabung reaksi dan rak
• Corong gelas
• Pengaduk
• Pinset

B. Bahan
• Sampel yaitu mie
• Larutan kapur jenuh Ca(OH)2
• H2SO4
• HCL 10%
• Kertas curcume
• Kertas saring
• Amoniak
• Methanol
• Kertas lakmus

C. Cara Kerja
1. Sampel ditimbang ± 20 gr kemudian dihaluskan dan dimasukkan ke dalam cawan porselin.
2. Ditambahkan larutan kapur sampai basa.
3. Dilarutkan dalam water bath.
4. Dipanaskan diatas kompor.
5. Dipanaskan dalam tinace sampai menjadi abu.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Hasil pengamatan :
Pada praktikum dilakukan pembagian abu menjadi dua yaitu :
1. Sebagian abu
 Ditambahkan HCl 10% sampai asam dan disaring dan masukkan kertas curcuma ke dalam air, disaring warna yang dihasilkan menjadi merah
 Ditambahkan amoniak warna yang dihasilkan hijau biru tua. Hal ini berarti positif mengandung boraks.
2. Sebagian abu
 Ditambahkan 5 ml H2SO4 pekat
 Ditambahkan 10 ml methanol
 Kemudian dibakar
 Jika warna yang dihasilkan hijau berarti positif mengandung asam boraks
Berdasarkan dari hasil praktikum yang telah dilakukan terhadap sampel yaitu berupa abu dari mie yang telah dihaluskan setelah diperiksa dan diuji menunjukkan bahwa sampel positif mengandung bahan pengawet berupa boraks karena nyala api yang dihasilkan ketika dibakar adalah hijau kebiruan.

B. Pembahasan
Masyarakat banyak yang masih belum mampu membedakan jenis dan bentuk dari makanan yang mengandung bahan pengawet atau tidak. Bahan pengawet yang biasanya beredar di masyarakat dikenal dengan nama boraks atau formalin.gaya hidup manusia masa kini dengan mobilitas yang cukup tinggi, menuntut makanan yang serba instan dan tahan lama. Dalam hal ini instan pembuatannya dan tahan lama apabila disimpan.
Beberapa survei menunjukkan, alasan para produsen menggunakan bahan pengawet seperti formalin dan boraks karena daya awet dan mutu mie yang dihasilkan menjadi lebih bagus, serta murah harganya tanpa peduli bahaya yang dapat ditimbulkan. Tuntutan itu melahirkan konsekuensi yang bisa saja membahayakan, karena bahan kimia semakin lazim digunakan untuk mengawetkan makanan termasuk juga formalin yang dikenal menjadi bahan pengawet mayat. Hal tersebut ditunjang oleh perilaku konsumen yang cenderung untuk membeli makanan yang harganya lebih murah, tanpa memperhatikan kualitas makanan. Dengan demikian, penggunaan boraks dan formalin pada makanan seperti mie, bakso, kerupuk dan makanan lainnya dianggap suatu hal yang biasa. Sulitnya membedakan makanan seperti mie biasa dan mie yang dibuat dengan penambahan formalin dan boraks juga menjadi salah satu faktor pendorong perilaku konsumen itu sendiri.
Kandungan boraks atau formalin pada makanan memang sulit untuk dideteksi. Secara akurat, ia hanya bisa terdeteksi di laboratorium melalui uji boraks dan uji formalin dengan menggunakan bahan kimia lainnya. Namun makanan yang proses pembuatannya dengan zat-zat kimia berbahaya, kini sudah beredar luas di pasaran dan sangat mudah didapat.
Boraks sering digunakan untuk pengawet pada berbagai makanan seperti kerupuk gendar, kerupuk puli, gendar nasi, mie, bakso, lontong dan ketupat. Pada makanan tersebut pedagang menambahkan pengawet karena makanan-makanan tersebut mudah rusak dan busuk atau tidak bertahan lama. Bila dosisnya cukup tinggi, boraks akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, kram perut. Bahkan kematian akan terjadi pada anak kecil dan bayi, yang memiliki dosis boraks dalam tubuhnya mencapai 5 gr atau lebih. Pada orang dewasa kematian akan terjadi jika dosisnya mencapai 10 – 20 gr atau lebih (Anonim, 2005).
Dalam pelaksanaan praktikum, sampel makanan yang digunakan untuk uji boraks adalah mie yang nantinya dihaluskan. Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh hasil positif yang berarti bahwa sampel yang berupa mie kuning mengandung bahan pengawet boraks. Hal tersebut ditandai dengan adanya nyala api hijau yang dihasilkan dari pembakaran abu yang telah ditambahkan dengan eter dan dibakar.
Pedagang makanan banyak yang memanfaatkan boraks pada makanan yang dijualnya agar makanan tahan lama dan tidak mudah busuk apabila pada hari pertama penjualan tidak habis terjual, maka dapat dijual lagi di hari berikutnya. Mereka ingin memperoleh keuntungan dari makanan yang dijual tanpa mendapatkan kerugian yang besar. Selain faktor pedagangnya, konsumen yang membeli makanan pun lebih cenderung memilih makanan yang murah dan banyak tanpa memperhatikan kandungan gizi yang terdapat pada makanan tersebut. Sehingga walaupun makanan tersebut mengandung boraks, jika harganya lebih murah dan rasanya lebih enak tentu saja masyarakat lebih memilihnya dibandingkan dengan makanan-makanan yang sehat dan bebas dari boraks namun harganya mahal dan tidak awet.
Selain itu tingkat pengetahuan masyarakat mengenai bahan pengawet dan zat aditif pada makanan sangat rendah sehingga mereka tidak memperhatikan makanan yang dikonsumsinya dan bahaya apa yang bisa ditimbulkannya. Terkadang nilai gizi yang terkandung pada makanan yang dikonsumsi merekapun tidak dipedulikan. Mereka kurang menyadari pentingnya menjaga kesehatan yang salah satu caranya adalah dengan memperhatikan dan menghindari konsumsi terhadap makanan-makanan yang mengandung zat pengawet berbahaya dan mengandung zat-zat aditif yang beracun dan berlebih.
Pengawasan perorangan terhadap suatu yang dikonsumsinya, perlu lebih ditingkatkan agar kemungkinan terjadinya penyakit berbahaya bagi tubuh yang disebabkan zat pengawet, zat aditif dan lainnya dapat dicegah dan dihindari sedini mungkin. Selain itu perhatian dari pemerintah terhadap permasalahan ini harus lebih serius. Pemerintah harus menetapkan peraturan perundang-undangan khusus terhadap penggunaan zat pengawet yang berlebihan dan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan kesehatan. Peraturan perundangan tersebut harus disertai dengan sanksi-sanksi bagi mereka (masyarakat) yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan tersebut.
Dari berbagai parameter mutu pangan yaitu gizi, rasa, tekstur serta penampilan dan sebagainya, keamanan pangan merupakan parameter terpenting. Berbagai kasus keamanan telah terjadi dari yang terkecil hingga yang terbesar dan diantaranya merupakan kasus yang lama.
Berikut merupakan saran untuk mengatasinya :
1. Upaya mempersiapkan RUU Pangan perlu dipercepat, berikuty perangkat pendukung beserta peraturan-peraturan dan petunjuk pelaksanaannya.
2. Perlu dikembangkannya upaya pendidikan produsen makanan jajanan dengan bantuan pemerintah daerah.
3. Perlu dikembangkannya upaya pendidikan konsumen, khususnya melalui media elektronik seperti TV dan radio, melalui pesan-pesan keamanan pangan yang dikemas rapi (1 – 5 menit) serupa advertensi gratis.
4. Untuk menghindarkan terjadinya kesimpangan-siuran penjelasan kepada masyarakat luas mengenai keamanan pangan, perlu dibentuk suatu Tim Pakar Keamanan Pangan Nasional, yang diprakarsai oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Urusan Pangan sehingga bila ada kasus keamanan pangan, masyarakat mendapat penjelasan secara tepat, benar dan resmi (Winarno, 1994).


















BAB V
KESIMPULAN

Dalam pemeriksaan bahan makanan berupa mie, dapat disimpulkan bahwa didalam mie terdapat zat atau bahan pengawet yaitu berupa boraks yang dapat membahayakan bagi kesehatan.


























DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2005.http://www.forek.or.it/detail.php?rubrik=kesehatan&beritaID=2344

.2005.http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid
1074059779.40144

Winarno, F.G. 1994. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Street Food Project. 1990. Quality and Safety of Streetfoods in West Java, An Assessment Survey. IPB-TNO-VU, Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar