BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan industri dewasa ini telah memberikan sumbangan besar terhadap perekonomian Indonesia. Industri di lain pihak juga memberi dampak pada lingkungan akibat buangan industri maupun eksploitasi sumber daya yang semakin intensif dalam pengembangan industri. Lebih lanjut dinyatakan harus ada transformasi kerangka kontekstual dalam pengelolaan industri, yakni keyakinan bahwa operasi industri secara keseluruhan harus menjamin sistem lingkungan alam berfungsi sebagaimana mestinya dalam batasan ekosistem lokal hingga biosfer. Efisiensi bahan dan energi dalam pemanfaatan, pemrosesan, dan daur ulang, akan menghasilkan keunggulan kompetitif dan manfaat ekonomi (Hambali, 2003).
Masalah pencemaran semakin menarik perhatian masyarakat, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Hal ini dapat kita lihat dengan semakin banyaknya kasus-kasus pencemaran yang terungkap ke permukaan. Perkembangan industri yang demikian cepat merupakan salah satu penyebab turunnya kualitas lingkungan. Penanganan masalah pencemaran menjadi sangat penting dilakukan dalam kaitannya dengan pembangunan berwawasan lingkungan terutama harus diimbangi dengan teknologi pengendalian pencemaran yang tepat guna (Haryono, 1997).
Gangguan kesehatan masyarakat yang dapat terjadi akibat air limbah yang tidak diolah terlebih dahulu antara lain menjadi media berkembangbiaknya mikroorganisme patogen dan merupakan penyebab gangguan kesehatan lingkungan. Usaha untuk mengurangi dan mengendalikan penurunan kualitas lingkungan dan gangguan kesehatan masyarakat serta mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan tersebut, maka diperlukan adanya pengolahan limbah (Notoatmodjo, 2007).
Pada umumnya industri-industri besar telah memiliki instalasi pengolahan limbah, sehingga pencemaran yang diakibatkan oleh limbah industri tersebut hampir seluruhnya telah dapat ditangani. Sebaliknya, limbah yang berasal dari industri kecil masih perlu diperhatikan karena kebanyakan industri kecil belum memiliki instalasi pengolahan limbah sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan solusi untuk pengolahan limbah industri kecil menggunakan cara yang mudah dilakukan dan tidak memerlukan biaya yang mahal. Seperti halnya pada industri tahu yang merupakan salah satu jenis industri kecil yang limbah cairnya perlu segera ditangani karena di dalam proses produksinya mengeluarkan limbah cair yang cenderung mencemari lingkungan perairan di sekitarnya baik dari segi kualitas maupun kuantitas (Moertinah dan Djarwanti, 2003).
Air limbah industri tahu berasal dari proses pencucian dan perendaman kedelai, serta dari pengepresan dan pencetakan tahu. Selain itu juga dari sisa larutan serta dari proses pencucian peralatan masak (Djarwanti dkk, 2000). Limbah cair yang mengandung padatan tersuspensi maupun terlarut, mengalami perubahan fisik, khemis, dan hayati yang akan menghasilkan zat beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya kuman. Kuman ini dapat berupa kuman penyakit atau kuman lainnya yang merugikan baik pada tahu itu sendiri ataupun pada manusia. Limbah akan berubah warnanya menjadi coklat kehitaman dan berbau busuk. Bau busuk yang berasal dari limbah tahu ini akan mengakibatkan gangguan pernafasan. Apabila air limbah ini merembes ke dalam tanah yang dekat dengan sumur maka air sumur itu tidak dapat dimanfaatkan lagi, apabila limbah ini dialirkan ke sungai maka akan mencemari sungai dan bila masih digunakan maka akan menimbulkan penyakit gatal, diare, dan penyakit lainnya (http://www.menlh.go.id, 2005).
Tahu merupakan salah satu produk olahan kedelai yang telah lama dikenal dan banyak disukai oleh masyarakat, karena harganya murah dan mudah didapat. Pembuatan tahu umumnya dilakukan oleh industri kecil atau industri rumah tangga. Industri pengolahan tahu tersebut selain menghasilkan produk utama berupa tahu dalam berbagai bentuk (tahu putih, tahu goreng, tahu pong, dan kerupuk tahu), juga menghasilkan limbah padat maupun limbah cair. Limbah padat sudah banyak dimanfaatkan seperti pakan ternak dan tempe gembus. Namun limbah cair belum dimanfaatkan sama sekali atau langsung dibuang begitu saja ke perairan. Akibatnya perairan menjadi tercemar, begitu pula dengan simpanan air tanah yang ditandai oleh kotornya wilayah perairan dan timbulnya bau menyengat (Raliby dkk, 2005).
Pengolahan limbah cair dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu secara fisika, kimia dan biologi. Pengolahan secara fisika ditujukan untuk polutan yang bersifat tersuspensi, sedangkan pengolahan secara kimia ditujukan untuk mengurangi konsentrasi bahan-bahan yang berbahaya dan menetralkan kondisi pH air limbah yang diperlukan bagi pengolahan biologi. Pengolahan secara biologi ialah cara pengolahan limbah dengan memanfaatkan mikroorganisme (ganggang, bakteri, protozoa) untuk menguraikan senyawa organik dalam air limbah menjadi senyawa yang lebih sederhana. Pengolahan secara biologi dilakukan secara aerob, anaerob dan fakultatif. Pengolahan secara biologi dinilai efisien dari segi biaya dan mudah diterapkan di masyarakat dibandingkan dengan pengolahan secara kimia (Daryanto, 2004).
Pengolahan secara biologi salah satunya adalah pemanfaatan Effective Microorganism (EM). EM merupakan kultur campuran lima kelompok organisme yang terdiri dari bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat, ragi, Actinomycetes, dan jamur fermentasi. Kumpulan organisme tersebut melakukan biodegrasi limbah organik seperti senyawa karbon, hidrogen, nitrogen dan oksigen (Higa, 1994). Jenis produk EM yang digunakan dalam pengolahan limbah adalah EM-4. Mikroorganisme EM memerlukan bahan organik yang ada pada limbah seperti karbohidrat, protein, lemak dan mineralnya untuk mempertahankan hidupnya. Bahan-bahan tersebut banyak terdapat pada limbah cair tahu. EM relatif aman bagi lingkungan karena tidak mengandung bahan kimia berbahaya (Hanifah, 2001).
Manfaat EM4 dalam pengolahan limbah antara lain mempercepat proses penguraian limbah organik cair maupun padat, menekan bau yang tidak sedap (H2S dan NH3), menurunkan kadar BOD dan COD, menekan perkembangan mikroorganisme pathogen, dapat digunakan untuk mendaur ulang limbah tahu menjadi pupuk/kompos (http://em-indonesia.org, 2007). Penelitian yang pernah dilakukan oleh Wiyono (2001) dengan menggunakan EM pada pengolahan limbah tahu yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas dari penambahan dosis EM terhadap penurunan kadar zat organik air limbah industri tahu termasuk bau yang ditimbulkan dengan variasi dosis 0,1 ml/L, 0,5 ml/L, 1 ml/L, 1,5 ml/L, dan 2 ml/L. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan kadar zat organik rata-rata 23,56 mg/L. Dosis efektif EM dari analisa secara statistik dengan uji LSD adalah 2,0 ml/L.
Berdasarkan survei pendahuluan di Desa Pesalakan Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal terdapat banyak industri rumah tangga yang membuat tahu sekitar 9-10 industri pembuat tahu. Air limbah tahu yang dihasilkan mengandung bahan buangan organik yang tinggi berasal dari sisa protein atau senyawa-senyawa nitrogen lainnya dari kedelai. Air limbah yang bercampur dengan sisa koagulasi dalam keadaan baru bersifat sedikit asam, mengandung amoniak (H2S dan NH3) dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Limbah cair tahu yang dihasilkan adalah dari proses pembuatan tahu, mulai dari perendaman sampai pencetakan, karena pada proses inilah dibutuhkan banyak air dan akan menghasilkan limbah spesifik buangan cair industri tahu. Adanya pengolahan limbah cair tahu dari hasil akhir pengolahan industri tahu dengan menggunakan EM4 diharapkan dapat mengurangi atau menurunkan bau dan amoniak dari limbah cair industri tahu dan dapat dibuang ke lingkungan sekitar industri karena tidak berbahaya bagi kesehatan masyarakat sekitar Desa Pesalakan Kecamatan Adiwerna.
Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh EM (EM4) Dalam Menurunkan Bau dan Amoniak dari Limbah Cair Industri Tahu di Desa Pesalakan Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal”. Dengan tercapainya tujuan penelitian ini, diharapkan masyarakat dapat terjaga kesehatan lingkungannya terutama dari sumber-sumber air yang tercemar dan bau busuk yang ditimbulkan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan:
1. Apakah ada perbedaan bau dan amoniak limbah cair tahu sebelum dan sesudah perlakuan menggunakan EM4 di Desa Pesalakan Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal?
2. Apakah ada pengaruh EM4 dalam menurunkan bau dan amoniak limbah cair tahu di Desa Pesalakan Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh EM4 dalam menurunkan bau dan amoniak limbah cair tahu di Desa Pesalakan Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui persentase dosis EM4 dalam menurunkan bau limbah tahu di Desa Pesalakan Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal
b. Mengetahui perbedaan bau dan amoniak limbah cair tahu sebelum dan sesudah perlakuan menggunakan EM4 di Desa Pesalakan Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal
c. Menganalisis pengaruh EM4 dalam menurunkan bau dan amoniak limbah cair tahu di Desa Pesalakan Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal.
D. Manfaat
1. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh EM4 dalam menurunkan bau dan amoniak limbah cair tahu di Desa Pesalakan Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pustaka atau bahan acuan mengenai pengaruh EM4 dalam menurunkan bau dan amoniak limbah cair tahu di Desa Pesalakan Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal.
3. Bagi Pengembangan IPTEK
Bermanfaat untuk meningkatkan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat dalam bidang kesehatan lingkungan khususnya dalam teknologi pengolahan air limbah dan pemanfaatannya EM4.
4. Bagi Peneliti
Bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan penelitian khususnya tentang pengaruh EM4 dalam menurunkan bau dan amoniak limbah cair tahu di Desa Pesalakan Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Limbah Cair
Limbah adalah sesuatu yang tidak berguna, tidak memiliki nilai ekonomi dan akan dibuang, apabila masih dapat digunakan maka tidak disebut limbah. Proses pembersihan mesin-mesin di berbagai percetakan kebanyakan menggunakan minyak tanah, bensin dan terpentin sebagai pelarut tinta. Mesin-mesin harus selalu dibersihkan karena penggunaan tinta dengan berbagai macam warna. Apabila pelarut tinta tersebut tidak memiliki nilai ekonomis sama sakali, maka pelarut tersebut disebut limbah. Tetapi apabila pelarut tersebut dapat diolah kembali dengan cara distilasi, maka pelarut bukan merupakan limbah (Darsono, 2007).
Jenis limbah cair pada dasarnya ada 2 yaitu limbah industri dan limbah rumah tangga. Limbah cair yang termasuk limbah rumah tangga pada dasarnya hanya mengandung zat-zat organik yang dengan pengolahan yang sederhana atau secara biologi dapat menghilangkan poluten yang terdapat di dalamnya (Ginting, 1992). Poluten yang terdapat limbah cair ada berbagai jenis, dan jenis polutan tersebut menentukan bagaimana limbah cair tersebut harus diolah. Berdasarkan polutan yang terkandung di dalam limbah cair, maka limbah cair dapat dibedakan menjadi empat yaitu:
1. Mengandung bahan yang mudah menguap
Bila limbah mengandung bahan yang mudah menguap, harus ada unit aerasi untuk mengeluarkan bahan-bahan yang mudah menguap, atau ditempatkan pada lokasi penampungan dengan luas permukaan besar agar terjadi penguapan.
2. Mengandung bahan yang mudah membusuk
Limbah cair yang mengandung bahan yang mudah membusuk (degradable) diolah secara bakterologi baik secara aerob maupun anaerob.
3. Limbah yang mengandung logam berat atau bahan-bahan kimia yang lain, relatif lebih sulit, sebab harus diketahui karakter dari masing-masing polutan.
4. Mengandung bakteri patogen
Limbah yang mengandung bakteri patogen, harus ada unit untuk membunuh bakteri, misalnya mengunakan kaporit (Darsono, 1995).
B. Pengolahan limbah cair
Berdasarkan sifat limbah cair, proses pengolahan limbah cair dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
1. Proses fisika
Proses ini dilakukan secara mekanik tanpa penambahan bahan-bahan kimia. Proses ini meliputi: penyaringan, pengendapan, dan pengapungan.
2. Proses kimia
Proses ini menggunakan bahan kimia untuk menghilangkan bahan pencemar.
3. Proses biologi.
Menghilangkan polutan menggunakan kerja mikroorganisme.
Pada kenyataannya proses pengolahan ini tidak berjalan sendiri-sendiri, tapi sering harus dilaksanakan dengan cara kombinasi.
Proses pengolahan limbah cair berdasarkan tingkatan perlakuannya dapat digolongkan menjadi 5 golongan. Akan tetapi dalam suatu instalasi pengolahan limbah, tidak harus ke lima tingkatan ini ada atau dipergunakan.
1. Pengolahan pendahuluan
Pengolahan pendahuluan (pre treatment), dilakukan apabila di dalam limbah cair terdapat banyak padatan terapung atau melayang, misalnya berupa ranting, kertas, dan pasir. Dapat digunakan saringan kasar, bak penangkap lemak, bak pengendap pendahuluan (misalnya untuk menangkap pasir), dan septic tank.
2. Pengolahan tahap pertama
Pengolahan tahap pertama (primary treatment), untuk memisahkan bahan-bahan padat tercampur (ukuran cukup kecil). Netralisasi termasuk juga dalam tahap pengolahan tahap pertama. Dapat dilakukan cecara kimia ( netralisasi, koagulasi), dan fisika (sedimentasi, flotasi atau pengapungan).
3. Pengolahan tahap kedua
Pengolahan tahap kedua (secondary treatment), pengolahan ini biasanya melibatkan proses biologi antara lain: lumpur aktif, bak aerob, dan bak anaerob.
4. Pengolahan tahap ke tiga
Pengolahan tahap ketiga (tertiary treatment) digunakan apabila ada beberapa zat yang membahayakan. Pengolahan tahap ke tiga merupakan bentuk pengolahan khusus sesuai dengan polutan yang akan dihilangkan, misalnya: pengurangan besi dan mangan. Contoh lain misalnya penggunaan karbon aktif, menghilangkan amoniak.
5. Pengolahan tahap keempat
Pembunuhan kuman (desinfection) adalah pengolahan tahap keempat, dilakukan apabila limbah cair mengandung bakteri patogen.
C. Proses Produksi Tahu
Menurut BPPT (1999), proses pembuatan tahu adalah sebagai berikut:
1. Kedelai yang telah dipilih dibersihkan dan diisortasi. Pembersihan dilakukan dengan ditampi atau menggunakan alat pembersih.
2. Perendaman dalam air bersih agar kedelai dapat mengembang dan cukup lunak untuk digiling. Lama perendaman berkisar 4-10 jam.
3. Pencuvian dengan air bersih, jumlah air yang digunakan tergantung pada besarnya atau jumlah kedelai yang digunakan.
4. Penggilingan kedelai menjadi bubur kedelai dengan mesin penggiling. Untuk memperlancar penggilingan perlu ditambahkan air dengan jumlah yang sebanding dengan jumlah kedelai.
5. Pemasakan kedelai dilakukan diatas tungku dan didihkan selama 5 menit. Selama pemasakan ini dijaga agar tidak berbuih dengan cara menambahkan air dan diaduk.
6. Penyaringan bubur kedelai dilakukan dengan kain penyaring. Ampas yang diperoleh diperas dan dibilas dengan air hangat. Jumlah ampas basah kurang lebih 70%-90% dari bobot kering kedelai.
7. Setelah itu dilakukan penggumpalan dengan menggunakan air asam, pada suhu 50c, kemudian didiamkan sampai terbentuk gumpalan. Selanjutnya air diatas endapan dibuang dan sebagian digunakan untuk proses penggumpalan kembali.
8. Langkah terakhir adalah pengepresan dan pencetakan yang dilapisi dengan kain penyaring sampai padat. Setelah air tinggal sedikit, maka cetakan dibuka dan diangin-anginkan.
Adapun proses pembuatan tahu adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Diagram Alir Pembuatan Tahu
Sumber: Moertinah dan Djarwanti (2003)
B. Masalah Pembuangan Air Limbah Tahu
Air limbah tahu mengandung bahan buangan organik yang tinggi berasal dari sisa protein atau senyawa-senyawa nitrogen lainnya dari kedelai. Air limbah yang bercampur dengan sisa koagulasi dalam keadaan baru bersifat sedikit asam dan tidak berbau, kemudian karena penguraian akan menjadi amoniak atau hydrogen sulfida yang berbau tidak sedap. Pengaruh lainnya adalah timbulnya kekeruhan pada air sungai. Limbah yang dihasilkan adalah dari proses pembuatan tahu, mulai dari perendaman sampai pencetakan, karena pada proses inilah dibutuhkan banyak air dan akan menghasilkan limbah spesifik buangan cair industri tahu adalah sebagai berikut:
Table 2.1 Parameter Air Limbah Tahu
Parameter Parameter
Masih Segar Setelah 24 jam
Warna Putih Keruh Putih Keruh
Bau - Asam
pH 4,5 -
Sumber: Hanafi Pratomo (Chariri Chasan, 1993)
C. Sumber Dan Karakteristik Limbah Tahu
Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu yang disebut dengan air didih. Cairan ini mengandung kadar protein yang tinggi dan dapat segera terurai. Limbah cair ini sering dibuang secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu sehingga menghasilkan bau busuk dan mencemari sungai. Sumber limbah cair lainnya berasal dari pencucian kedelai, pencucian peralatan dan pemasakan serta larutan bekas rendaman kedelai (Clifton Potter et.al, 1994).
Menurut Hartati dalam ProRistand Indag Surabaya Edisi II Juli tahun 2003, karakteristik limbah tahu meliputi: suhu, warna, bau, kekeruhan, padatan tersuspensi, pH, BOD dan COD.
1. Suhu
Suhu air limbah yang dihasilkan biasanya lebih tinggi dari suhu air pada saluran umum. Seperti diketahui kelarutan oksigen pada air panas relatif kecil, sehingga dapat menurunkan kelarutan oksigen pada saluran umum dimana air limbah tersebut dibuang. Akibatnya dapat membahayakan kehidupan mikroba atau ikan yang ada pada saluran tersebut.
2. Warna
Air limbah yang masih baru berwarna putih kekuningan. Lama kelamaan warna air limbah akan berubah menjadi kehitam-hitaman dan berbau busuk karena telah terjadi peruraian bahan organik yang dikandungnya.
3. Bau
Bau dapat dijadikan suatu petunjuk apakah air limbah tersebut masih baru atau sudah lama. Air limbah yang masih baru masih berbau seperti tahu dan akan menjadi berbau asam setelah berumur lebih dari satu hari, selanjutnya akan berbau busuk. Bau tersebut berasal dari bau hidrogen sulfida dan amoniak yang berasal dari proses pembusukan protein serta bahan organik lainya.
4. Kekeruhan
Kekeruhan yang terjadi karena adanya bahan organik (seperti karbohidrat dan protein) yang mengalami peruraian serta bahan koloid yang sukar mengendap.
5. Padatan tersuspensi
Adanya padatan tersuspensi pada air limbah akan mempengaruhi kekeruhan. Apabila terjadi pengendapan dan pembusukan padatan ini di saluran umum, maka dapat mengubah peruntukan perairan tersebut.
6. pH
Perubahan pH pada air limbah menunjukkan bahwa telah terjadi aktifitas mikroba yang mengubah bahan organik mudah terurai menjadi asam.
Tabel 3. Baku mutu air limbah industri tahu
No Parameter Industri Tahu
Kadar Max
(mg/L) Beban Pencemaran Max
(kg/ton)
1. Temperatur 38 0C -
2. BOD5 150 3
3. COD 275 5,5
4. TSS 100 2
5. pH 6,0-9,0
6. Debit Max 20 m3/ton kedelai
Sumber: Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor: 10 Tahun 2004
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam kilogram parameter per ton kedelai.
D. Dampak Limbah Cair Industri Tahu
1. Perubahan suhu air
Gerakan mesin pada proses produksi pada umumnya menghasilkan panas yang akan dihilangkan menggunakan air pendingin. Air pendingin yang telah menyerap panas, apabila dibuang ke sungai maka akan menaikkan suhu air sungai. Kenaikan suhu tersebut akan mengganggu kehidupan hewan air dan organisme air lainnya karena kadar oksigen yang terlarut akan turun bersamaan dengan kenaikan suhu (Ginting, 2007).
2. Perubahan pH atau konsentrasi Ion Hidrogen
Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan berkisar antara 6,5 – 7,5. Air yang mempunyai pH lebih kecil dari pH normal akan bersifat asam, sedangkan yang mempuyai pH lebih dari pH normal akan bersifat basa. Air limbah dari kegiatan industri yang dibuang ke sungai akan mengubah pH air dan akan dapat mengganggu kehidupan organisme di dalam air. Air limbah tahu bersifat asam (3-5) karena mengandung sianida (HCN) (Ginting, 2007).
3. Perubahan warna, bau, dan rasa air
Bahan buangan dan air limbah industri yang larut dalam air akan merubah warna air. Degradasi limbah industri juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna air. Bau yang keluar dari dalam air dapat langsung berasal dari hasil degradasi limbah oleh mikroba yang hidup di dalam air. Air normal yang dapat digunakan untuk suatu kehidupan pada umumnya tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Apabila air mempunyai rasa (kecuali air laut) maka hal itu berarti telah terjadi pelarutan sejenis garam-garaman. Adanya rasa pada air, pada umumnya diikuti pula dengan perubahan pH air (Ginting, 2007).
4. Timbulnya endapan, koloidal dan bahan terlarut
Bahan buangan industri yang berbentuk padat apabila tidak dapat larut sempurna akan mengendap di dasar sungai dan yang dapat larut sebagian akan menjadi koloidal. Hal ini ditandai dengan nilai Total Suspended Solid (TSS) yang tinggi. Endapan dan koloidal yang melayang di dalam air akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam air dan menghambat proses fotosintesis oleh mikroorganisme.
5. Mikroorganisme
Mikroorganisme sangat berperan dalam proses degradasi bahan buangan dari kegiatan industri terutama yang bersifat organik. Mikroorganisme akan berkembangbiak apabila bahan buangan yang harus didegradasi cukup banyak, termasuk mikroba patogen (Ginting, 2007).
E. EM (Effective Microorganism)
EM adalah suatu teknologi yang dikembangkan oleh Dr Teruo Higa dari Jepang pada tahun 1980-an. EM (Effective Microorganisms) merupakan kultur campuran lima kelompok organisme yang melakukan biodegrasi limbah organik seperti senyawa karbon, hidrogen, nitrogen dan oksigen (Hanifah, 2000). Jenis mikroorganisme utama yang terdapat dalam EM meliputi:
1. Photosynthetic bacteria ( bakteri fotosintetik) seperti Rhodopseudomonas palustrus, Rhodobacter spaeroides
2. Lactic acid bacteria (bakteri asam laktat) seperti Lactobacillus lantarum, casei, Streptoccus lactis
3. Yeasts (ragi) seperti Saccharomyces cerevisiae, Candida utilis
4. Actinomycetes seperti Streptomyces albus, S. griseus
5. Fermenting fungi (jamur fermentasi/ mikoriza) seperti Aspergillus oryzae, Mucor hiemalis (Patterson, 2003).
Effective Microorganism dapat dilihat pada Gambar 2.3
a
b c
Gambar 2.3. Effective Microorganism
Keterangan gambar:
a : Photosynthetic bacteria, Lactic acid bacteria, Yeast
b : Actinomycetes
c : Fermenting fungi
Bakteri fotosintetik adalah mikroorganisme yang mandiri dan swasembada. Bakteri ini membentuk senyawa-senyawa yang bermanfaat seperti asam amino, asam nukleik, zat-zat bioaktif dan gula, dari sekresi akar-akar tumbuhan, bahan organik dan atau gas-gas berbahaya (misalnya hydrogen sulfide), dengan menggunakan sinar matahari dan panas bumi sebagai sumber energi. Bakteri asam laktat menghasilkan asam laktat dari gula dan karbohidrat lain yang dihasilkan oleh bakteri fotosintetik dan yeast (ragi). Bakteri asam laktat merupakan suatu zat yang dapat mengakibatkan kemandulan (sterilizer). Hal ini berarti bahwa asam laktat akan menekan pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan dan meningkatkan percepatan perombakan bahan-bahan organik. Bakteri asam laktat dapat menghancurkan bahan-bahan organik seperti lignin dan sellulosa, serta memfermentasikannya tanpa menimbulkan senyawa-senyawa beracun yang ditimbulkan dari pembusukan bahan organik (Http://www.em-indonesia.org, 2007).
Yeast (ragi) melakukan fermentasi dari asam amino dan gula yang dihasilkan bakteri fotosintetik atau bahan organik. Sekresi ragi yang berupa zat-zat bioaktif seperti hormone dan enzim merupakan substrat yang baik untuk EM seperti bakteri asam laktat dan Actinomycetes. Actinomycetes merupakan suatu grup mikroorganisme yang strukturnya merupakan bentuk antara bakteri dan jamur, mereka menghasilkan zat-zat anti mikroba dari asam amino yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik dan bahan organik. Zat-zat anti mikroba ini menekan pertumbuhan jamur dan bakteri. Actinomycetes dapat berdampingan dengan bakteri fotosintetik. Jamur fermentasi (peragian) menguraikan bahan organik secara cepat untuk menghasilkan alkohol, ester dan zat-zat anti, mikroba (http://www.em-indonesia.org, 2007).
Tiap spesies Effective Microorganisme (bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat, ragi, Actinomycetes dan jamur fermentasi) mempunyai fungsi masing-masing. Bakteri fotosintetik adalah pelaksana kegiatan EM yang terpenting. Bakteri fotosintetik mendukung kegiatan mikroorganisme lain dan di lain pihak ia juga memanfatkan zat-zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme lainnya (http://em-indonesia.org, 2007). Bakteri asam susu dari genus Streptococcus, genus Leuconostoc dan genus Lactobacillus membutuhkan banyak vitamin B dan asam amino untuk pembiakan dan pertumbuhannya (Dwidjoseputro, 1990).
F. Pengaruh EM4
Salah satu keuntungan utama penggunaan EM adalah pengurangan volume limbah. Jenis produk yang digunakan dalam pengolahan limbah adalah EM-4. EM-4. Mikroorganisme EM mampu hidup baik pada medium asam atau basa, temperatur tinggi 45-50 0C (mikroorganisme termofilik) dan pada kondisi aerob ataupun anaerob. Pengolahan limbah merupakan kultur EM dalam medium cair berwarna coklat kekuning-kuningan dengan konsep mutakhir dalam bidang mikrobiologi daur ulang limbah untuk memfermentasi limbah organik cair dan padat secara efektif. Manfaat EM4 pengolahan limbah antara lain mempercepat proses penguraian limbah organik cair maupun padat, menekan bau yang tidak sedap (H2S dan NH3), menurunkan kadar BOD dan COD, menekan perkembangan mikroorganisme pathogen, dapat digunakan untuk mendaur ulang limbah tahu menjadi pupuk / kompos (http://em-indonesia.org, 2007).
Mikroorganisme EM dalam kemasan botol dalam keadaan dormant (tidur), maka sebelum digunakan harus diaktifkan terlebih dahulu dengan memberinya makan menggunakan molase/ gula ditambah air dengan perbandingan 1 : 1 : 1. Keuntungan organisme yang terlibat dalam EM secara teoritis adalah menguraikan bahan organik dengan mengubahnya menjadi gas karbondioksida (CO2), gas metana (CH4) atau menggunakannya untuk pertumbuhan dan reproduksi (Patterson, 2003). Mikroorganisme EM memerlukan bahan organik untuk mempertahankan hidupnya seperti karbohidrat, protein, lemak dan mineralnya. Bahan-bahan tersebut banyak terdapat pada limbah cair tapioka (Hanifah, 2001).
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dilakukan penelitian untuk memanfaatkan ampas tahu yang selama ini dibuang dipekarangan sebagai kompos. Pembuatan kompos ampas tahu dapat dilakukan dengan berbagai cara, tetapi bentuk fisik ampas tahu yang mempunyai luas permukaan kecil dan menyebabkan proses pengomposan cenderung berlangsung dalam kondisi anaerob atau fakultatif anaerob, serta derajat keasaman ampas tahu yang mendekati asam, maka pengomposan yang sesuai untuk diterapkan adalah pengomposan dengan menggunakan EM4 (Indriani, 2000 dan Murbandono, 2000).
G. Kerangka Teori
Gambar 2.4 Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi Teori dari Ginting (2007), Hanifah (2001), Notoatmodjo (2007), Patterson (2003).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
Keterangan : *) dikendalikan
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
B. Hipotesis
1. Ada perbedaan yang nyata bau dan amoniak limbah cair tahu sebelum dan sesudah perlakuan menggunakan EM4 pada dosis 0,1 ml/L, 0,5 ml/L, 1,5 ml/L, 2 ml/L.
2. Ada pengaruh EM4 dalam menurunkan bau dan amoniak limbah cair tahu di Desa Pesalakan Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal.
C. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau menyebabkan berubahnya variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengaruh EM4 yaitu penambahan EM4 dengan dosis 0,1 ml/L, 0,5 ml/L, 1,5 ml/L, 2 ml/L.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain atau variabel yang diduga nilainya akan berubah karena adanya pengaruh dari variabel bebas atau variabel lain. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah bau dan amoniak limbah cair tahu.
3. Variabel Pengganggu
Variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat tetapi tidak diketahui pengaruhnya secara langsung. Variabel pengganggu dalam penelitian ini adalah pH dan suhu, lama pengadukan, kecepatan pengadukan dan lama pengendapan.
D. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional
No Definisi Operasional Satuan Cara ukur Hasil Ukur dan Skala Data
1 Penambangan EM4 adalah banyaknya EM4 yang dibubuhkan ke dalam setiap limbah cair tahu, dengan perbandingan satu berbanding satu, banyaknya dosis koagulan dalam peneltian ini yaitu 0,1 ml/L, 0,5 ml/L, 1,5 ml/L, 2 ml/L. ml/L Uji laboratorium dengan cara titrasi Dalam satuan ml/L
Skala: Rasio
2 Bau dan amoniak limbah cair tahu adalah bau yang ditimbulkan akibat limbah cair tahu yang dibuang yaitu mengandung H2S dan NH3 - Uji organoleptik dengan indra penciuman sebanyak 10 panelis dan Uji laboratorium (amoniak) Kategori Bau:
1. Berbau menyengat
2. Kurang berbau
3. Tidak berbau
Skala: Rasio
3 Lama pengadukan adalah waktu yang diperlukan pada pengadukan limbah tahu yang diberi EM-4, pengadukan cepat selama 1 menit dan pengadukan lambat selama 15 menit. Menit Uji laboratorium menggunakan timer Dalam satuan menit
Skala: Rasio
Lanjutan Tabel 3.2
No Definisi Operasional Satuan Cara ukur Hasil Ukur dan Skala Data
4 Kecepatan pengadukan adalah banyaknya pengadukan yang diperlukan rotari per menit atau kecepatan pengadukan per menit pada limbah cair tahu setelah diberi EM4, kecepatan yang dilakukan yaitu: pengadukan cepat 100 rpm selama 1 menit, kemudian pengadukan lambat 40 rpm selama 15 menit, terakhir pengadukan dengan 0 rpm selama 15 menit. rpm Uji laboratorium menggunakan jar test Dalam satuan rpm
Skala: Rasio
5 Lama pengendapan adalah lama waktu yang dibutuhkan untuk pemisahan zat padat dan tersuspensi menjadi partikel-partikel di dalam limbah tahu secara gravitasi selama 15 menit, kecepatan pengendapan partikel tergantung pada berat jenis, bentuk, dan ukuran. Menit Uji laboratorium menggunakan timer Dalam satuan menit
Skala: Rasio
6 pH adalah derajat keasaman dari limbah tahu yang diukur dalam sampel selama pemeriksaan sebelum dan sesudah perlakuan. - Uji laboratorium menggunakan pH meter dengan metode elektrometri Rasio
7 Suhu limbah tahu adalah derajat panas selama pemeriksaan. Suhu pemeriksaan diukur pada tiap tahap pemeriksaan yaitu tahap pengambilan sampel (sebelum perlakuan), pada saat pemeriksaan (setelah diberi perlakuan). 0C Uji laboratorium menggunakan termometer alkohol Dalam satuan 0C
Skala: Rasio
E. Jenis dan Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen (experiment research), yaitu penelitian yang dirancang untuk mengetahui pola hubungan sebab akibat, dimana akibat yang timbul disebabkan karena adanya perlakuan dari peneliti (Santjaka, 2003). Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimen semu (quacy experimental), dengan model rancangan eksperimen ulang non random (the nonrandomized control group pretest posttest design) (Santjaka, 2003). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan, masing-masing perlakuan tersebut meliputi berbagai variasi dosis koagulan EM4, yaitu 0,1 ml/L, 0,5 ml/L, 1,5 ml/L, 2 ml/L. Desain model rancangan eksperimen ulang non random dapat digambarkan sebagai berikut (Santjaka, 2003):
Gambar 3.2. Desain Model Rancangan Eksperimen Ulang Non Random
Keterangan gambar:
1. (E) adalah kelompok eksperimen yang akan diberi perlakuan.
2. (C) adalah kelompok kontrol yang tidak mendapat perlakuan.
3. (T) adalah perlakuan (pemberian) EM4 pada sampel dengan konsentrasi yang bervariasi.
4. (-) adalah kelompok kontrol tidak mendapat perlakuan.
5. 01 adalah hasil pengukuran bau awal (sebelum) perlakuan dengan menggunakan EM4
6. 02 adalah hasil pengukuran bau dan amoniak setelah perlakuan dengan menggunakan EM4
7. 03 adalah hasil pengukuran bau dan amoniak awal pada kelompok kontrol.
8. 04 adalah hasil pengukuran bau dan amoniak kelompok kontrol.
F. Lokasi penelitian
1. Pengambilan sampel limbah cair tahu di Desa Pesalakan Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal
2. Hasil pengambilan sampel diuji di Laboratorium Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal yang berlokasi di Jl. Dr.Sutomo No.1C, Telpon (0283) 491644.
G. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah limbah cair tahu yang berada di wilayah Desa Pesalakan Kecamatan Talang Kabupaten Tegal. Adapun sampel yaitu sebagian limbah cair tahu yang diambil dari industri tahu yang berada di RT 05 RW 02 Desa Pesalakan Kecamatan Talang Kabupaten Tegal sebanyak 20 ml/L limbah cair tahu.
H. Sumber Data dan Cara Pengumpulan Data
Data hasil pengukuran yang diperoleh berupa data primer yang dihasilkan dari pengukuran di Laboratorium Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal yang berlokasi di Jl. Dr.Sutomo No.1 C. Data sekunder diambil dari profil Desa Pesalakan Kecamatan Talang Kabupaten Tegal. Cara pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan observasi. Observasi adalah cara pengumpulan data dengan terjun langsung ke lapangan (laboratorium dan uji organoleptik) terhadap sampel yang diteliti (Hasan, 2004).
J. Instrumen Penelitian
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel limbah cair tahu sebanyak 20 ml/L, EM4, aquades, NaCl, titran EDTA (etilen diamine tetra acetat), HCl, larutan Bufer, EBT (Eriokrom Black T).
2. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu erlenmeyer 250 ml, ayakan, filter, kertas pH, kertas saring, kertas label, bollpoint, statif, labu takar, gelas ukur, buret, termometer, beker glass 100 ml, pengaduk, kapas dan pipet tetes seukuran.
K. Prosedur Kerja
a. Pengukuran DO dengan metode Winkler menurut Alaerts dan Santika (1984)
1) Sampel yang sudah ada di dalam botol winkler ditambah dengan 2 ml larutan MnSO4 di bawah permukaan cairan.
2) Sampel tersebut kemudian ditambah 2 ml larutan alkali iodida (KOH-KI), botol ditutup kembali dengan hati-hati untuk mencegah terperangkapnya udara dari luar, kemudian dikocok dengan membalik-balikan botol beberapa kali
3) Dibiarkan gumpalan mengendap selama 10 menit, apabila proses gumpalan sudah sempurna, maka bagian larutan yang jernih dikeluarkan dari botol dengan menggunakan pipet sebanyak 100 ml dan dipindahkan ke dalam erlenmeyer 500 ml.
4) Tambahkan H2SO4 pekat, pada sisa larutan yang mengendap dalam botol Winkler yang dialirkan melalui dinding bagian dalam dari leher botol, kemudian botol segera tutup kembali
5) Botol digoyangkan dengan hati-hati sehingga semua endapan melarut. Seluruh isi botol dituangkan secara kuantitatif ke dalam erlenmeyer 500 ml tadi di butir 3
6) Iodin yang dihasilkan dari kegiatan tersebut, kemudian ditritasi dengan larutan tiosulfat (Na2S2O3) sehingga terjadi warna coklat muda
7) Tambahkan indikator kanji 1-2 ml, akan (timbul warna biru). Titrasi dengan tiosulfat dilanjutkan, sehingga warna biru hilang pertama kali (beberapa menit akan timbul lagi)
8) Rumus perhitungannya adalah :
Kadar Oksigen Terlarut (DO) = x p x q x 8 mg/L
Keterangan :
p : Jumlah ml Na2S2O3 yang terpakai
q : normalitas larutan Na2S2O3
8 : bobot setara O2
L. Metode Analisis
1. Pengolahan data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan diolah melalui beberapa tahapan yaitu:
a. Editing, yaitu pengecekan dan pengoreksian data yang telah dikumpulkan karena kemungkinan data yang masuk (raw data) atau data yang terkumpul tidak logis dan meragukan. Tujuannya yaitu untuk menilai kembali jawaban yang telah diberikan oleh responden.
b. Coding, yaitu pemberian atau pembuatan kode-kode pada tiap-tiap data yang termasuk dalam kategori yang sama. Kode adalah isyarat yang dibuat dalam bentuk angka atau huruf-huruf yang memberikan petunjuk atau identitas pada suatu informasi atau data yang akan dianalisis.
c. Entry data, yaitu kegiatan memasukkan data ke dalam komputer untuk selanjutnya dapat dilakukan analisis data.
d. Tabulating, yaitu membuat tabel-tabel yang berisikan data yang telah diberi kode sesuai dengan analisis yang dibutuhkan.
2. Analisis data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini (Murti, 2003), yaitu:
a. Analisis deskriptif komparatif. Analisis deskriptif digunakan untuk mencari perbedaan bau dan amoniak limbah cair tahu sebelum dan setelah perlakuan pada masing-masing dosis EM4.
b. Analisis analitik. Analisis analitik digunakan untuk pengujian hipotesis yang telah dirumuskan dengan menggunakan uji statistik.
Uji statistik yang dipakai (Santoso, 2005), yaitu:
1) Uji Wilcoxon untuk menganalisis atau menguji apakah terdapat perbedaan yang bermakna antara bau dan amoniak limbah cair tahu sebelum dan sesudah perlakuan dengan EM4.
2) Uji Kruskal-Wallis digunakan untuk menguji apakah ada beda pemberian dosis EM4 dengan α = 5% dalam berbagai variasi dosis memberikan pengaruh dalam penurunan bau dan amoniak limbah cair tahu.
M. Jadwal Penelitian
Tabel 3.2. Jadwal Kegiatan Penelitian
No. Kegiatan Bulan ke-
1 2 3 4 5 6
1. Survei awal dan penentuan lokasi penelitian
2. Penyusunan proposal
3. Seminar proposal
4. Pelaksanaan penelitian
5. Pengolahan data, analisis dan penyusunan laporan
6. Seminar hasil
Rabu, Desember 23, 2009
Rabu, Desember 02, 2009
berita
International Youth Conference 2009 : Wujud Kepedulian Pemuda Demi Perdamaian Dunia
Pada tanggal 28 September 2009 – 2 Oktober 2009 lalu, tiga mahasiswa IPB mengikuti sebuah konferensi yang diadakan oleh Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia bekerja sama dengan UNESCO bertajuk International Youth Conference 2009. Ketiga mahasiswa tersebut adalah Titis Anugraheni Putri Apdini mahasiswi Fakultas Peternakan, Hidayat Syarifuddin mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia, dan Khalid bin Abdallah mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Perikanan.
Konferensi dibuka secara resmi oleh Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, Adhyaksa Dauld. Hadir pula Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo yang ikut berdiskusi dengan para peserta konferensi seputar peranan pendidikan dalam menciptakan perdamaian dunia.
Tema kegiatan ini adalah “The Role of Youth to Establish Peace, Toward a Future World without Violent Radicalization”. Konferensi ini diadakan dengan tujuan untuk mengumpulkan para pemuda dari berbagai belahan dunia guna menyamakan persepsi tentang arti perdamaian dan memberikan ide segar dalam membangun dunia tanpa kekerasan. Pada hari pertama konferensi, terdapat empat sesi pleno yang masing-masing membahas peranan sektor Pendidikan, Seni dan Olahraga, Informasi Teknologi, dan Pengembangan Masyarakat dalam menciptakan perdamaian. Setelah plenary sessions, hari kedua konferensi diisi dengan Working Group Discussion (WGD) yang dibagi menjadi empat grup. Masing-masing grup membahas peranan setiap sektor dalam menciptakan perdamaian lebih dalam lagi kemudian merumuskan suatu rekomendasi yang dideklarasikan sebagai suatu proposal rekomendasi bagi UNESCO dalam menjalankan misinya untuk mendorong terciptanya perdamaian.
Rekomendasi ini akan dibawa oleh Mr. Russell-Rivoallan sebagai perwakilan dari Strategic Planning of UNESCO untuk disuarakan dalam Konferensi UNESCO yang diadakan di Paris pada tanggal 2 Oktober 2009, konferensi inilah yang juga mengesahkan batik sebagai warisan leluhur asli Indonesia. [mahasiswa IPB]
Diposkan oleh Hidayat Syarifuddin di 9:58 AM 0 komentar
Label: My Journey
Rabu, Maret 04, 2009
Perubahan Jadwal OSN 2009
Dalam pertemuan persiapan TOT pembina Olimpiade Provinsi yang dilakukan di Cisarua tgl 25 - 27 Februari 2009, Direktorat Pembinaan SMA Depdiknas mengumumkan tentang jadwal OSN 2009 terbaru :
- Tingkat Kab/Kota (OSK) : Pertengahan April 2009
- Tingkat Propinsi (OSP) : Pertengahan Juni 2009
- Tingkat Nasional (OSN) : 3 - 9 Agustus 2009 di Jakarta
Kegiatan TOT Pembina Olimpiade Provinsi sendiri akan dilaksanakan pada tgl 3 - 6 Maret 2009 di Bandung
Pembina Olimpiade Provinsi akan membantu Pembina Pusat dalam hal pembinaan baik guru maupun siswa agar siap mengikuti seleksi dari tingkat kab/kota hingga OSN
Sumber : www.tofi.or.id
pewarna
PEMERIKSAAN PEWARNA MAKANAN/MINUMAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Prinsip Kerja
Mutu bahan pangan sangat ditentukan oleh beberapa faktor, seperti warna, cita rasa, tekstur, dan nilai gizinya. Faktor yang paling utama tampak pada bahan pangan yaitu warna, karena warna sealin menentukan mutu suatu produk, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan.
Pewarna di dalam bahan tambahan makanan secara garis besar ada 2 macam zat pewarna yang termasuk golongan bahan tambahan makanan, yaitu pewarna alami dan pewarna buatan. Pada umumnya pewarna alami dianggap aman bagi kesehatan, sedangkan pewarna buatan ada yang diperbolehkan dalam penggunaannya ada juga yang tidak diperbolehkan dalam penggunaannya.
Proses pembuatan zat warna sintetik (buatan) biasanya melalui perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat yang sering kali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Pada pembuatan zat warna organik sebelum mencapai produk akhir, harus melalui suatu senyawa terlebih dahulu yang kadang-kadang berbahaya dan sering kali tertinggal dalam hasil akhir atau terbentuk senyawa-senyawa yang berbahaya.
B. Tujuan
Mengetahui apakah zat pewarna yang terkandung dalam suatu makanan atau minuman layak untuk dikonsumsi atau tidak.
C. Tinjauan Pustaka
Undang-undang mendefinisikan suatu pewarna buatan dalam arti luas sebagai setiap bahan pewarna yang mengandung suatu cat atau pigmen. Definisi tidak jelas apakah cat atau zat warna dibuat secara sintesis atau diperoleh dari ekstraksi suatu zat atau pigmen alami dari tanaman atau sumber-sumber lain. Oleh karena itu karamel termasuk dalam definisi ini sebab pewarna ini dibuat dari gula. Kenyataannya bahwa pewarna dapat terjadi baik secara sintesis ataupun secara alami. Semua bahan pangan yang bergula dapat dipandang sebagai pewarna buatan, tetapi karena kemampuan pewarna tersebut dapat dibuat, maka perlu ditentukan apakah pewarna tersebut bersifat buatan (Desrosier, 1998).
Salah satu masalah keamanan pangan yang masih memerlukan pemecahan yaitu penggunaan bahan tambahan makanan dilakukan pada industri pengolahan makanan maupun dalam pembuatan berbagai pangan jajanan, yang umumnya dihasilkan industri kecil atau rumah tangga.
Penggunaan bahan tambahan makanan yang tidak memenuhi syarat termasuk bahan tambahan memang jelas-jelas dilarang, seperti pewarna, pemanis dan bahan pengawet. Pelarangan juga menyangkut dosis penggunaan bahan tambahan yang melampaui ambang batas maksimum yang telah ditentukan (Effendi, 2004).
Zat warna yang akan digunakan harus mnejalani test dan prosedur penggunaannya, yang disebut proses sertifikasi. Proses sertifikasi ini meliputi pengujian kimia, biokimia toksikologi dan analisis media terhadap zat warna tersebut (Winarno, 1994).
Pewarna makanan merupakan bahan tambahan pangan yang dapat memperbaiki penampakan makanan. Penambahan pewarna makanan mempunyai beberapa tujuan, diantaranya adalah memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan dan menstabilkan warna, serta menutupi perhatian warna akibat proses pengolahan dan penyimpanan (Anonim, 2005).
Bahaya kandungan makanan bagi kesehatan tubuh disebabkan oleh sedikitnya 5 (lima) kemungkinan yaitu karena adanya mikroba, zat gizi yang menjadi berlebihan, residu pestisida, zat racun alami dan BTM. Dilihat dari fungsi, BTM dikelompokkan menjadi 11 macam yaitu zat pewarna, zat pengawet, pemanis, penyedap rasa dan aroma pembentukkan serat, antioksidan (untuk mencegah bau tengik), anti kempal, pengatur keasaman, pemutih atau pematang tepung, perenyah dan pengisi dan zat pemantap. Selain itu dikenal juga zat pengering, pencegah buih, pengkilap, pelembab dan pencegah lengket (Awang, 1995).
BAB II
ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA
A. Alat
1. Pemanas bunsen atau kompor listrik
2. Gelas ukur
3. Becker glass
4. Pipet ukur 10 ml steril dan filternya
5. Spatula
B. Bahan
1. Sampel makanan atau minuman
2. Aquades
3. Larutan KHSO4 10%
4. Benang wol
5. NH4OH 10%
6. Larutan CH3COOH/ asam asetat encer
C. Cara Kerja
* Pewarna Yang Diperbolehkan
1. Sampel ditambahkan dalam KHSO4 10% samapi terbentuk suasana asam, kemudian ditambah dengan H2O
2. Sampel dipanaskan sampai mendidih
3. Benang wol dimasukan ke dalam larutan sampel
4. Didihkan selama 10 menit
5. Benang wol diambil dan cuci sampai bersih lalu dibagi menjadi dua bagian :
a. Benang wol ditetesi dengan NH4OH 10% bila terjadi warna hijau kotor berarti zat pewarna yang digunakan termasuk dalam zat pewarna yang diperbolehkan.
b. Benang wol ditambahkan dengan H2O dan didihkan selama 10 menit lalu ditambahkan NH4OH 10%. Kemudian benang wol diambil dan diganti dengan yang baru. Jika benang wol yang baru tersebut dan cairannya berwarna (tidak jernih) maka berarti bahwa zat pewarna yang digunakan termasuk dalam golongan pewarna yang diperbolehkan.
* Pewarna Yang Tidak Diperbolehkan
1. Sampel ditambahkan dengan NH4OH 10% sampai bersuasana basa, lalu ditambah H2O dan dipanaskan sampai mendidih, kemudian tambahkan benang wol.
2. Didihkan selama 10 menit
3. Benang wol diambil dan cuci sampai bersih
4. Ditambahkan CH3COOH atau asam asetat encer
5. Dipanaskan sampai mendidih
6. Benang wol diambil dan diganti dengan yang baru
7. Didihkan sampai 10 menit. Bila benang wol berwarna berarti pewarna yang terkandung dalam sampel tersebut termasuk pewarna yang tidak diperbolehkan.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Pewarna Alami warna gelap/ kotor
2. Pewarna Sintetis cairan berwarna dan benang wol berwarna
3. Pewarna Tidak Diperbolehkan benang wol berwarna
B. Pembahasan
Bahan tambahan makanan yang beredar di pasaran saat ini sangat beraneka ragam macamnya. Para produsen makanan berusaha menarik para konsumen dengan cara menambahkan bahan tambahan makanan ke dalam makanan yang diproduksi, jika penggunaannya melebihi ambang batas yang ditentukan maka dapat berbahaya dalam tubuh jika dikonsumsi, hal ini yang perlu diwapadai oleh kita semua sebagai konsumen.
Salah satu jenis dari bahan tambahan makanan adalah pewarna makanan. Bahan pewarna tambahan yang umum digunakan dalam produksi makanan yaitu bahan pewarna sintesis, karena bahan pewarna sintesis ini selain harganya murah juga memiliki warna yang lebih menarik daripada bahan pewarna buatan.
Secara umum pewarna makanan terdiri dari pewarna sintesis dan alami. Pewarna sintesis pada umumnya terbuat dari bahan-bahan kimia. Penggunaan pewarna sintetis yang tidak proporsional bisa mengganggu kesehatan. Misalnya tartrazin untuk warna kuning, allura red untuk warna merah dan seterusnya. Rhodamin juga sering digunakan untuk mewarnai terasi, kerupuk dan minuman sirup. Pewarna ini dapat menimbulkan kanker dan penyakit lainnya. Kelebihan pewarna jenis ini yaitu warnanya homogen dan penggunaannya sangat efisien karena hanya memerlukan jumlah yang sangat sedikit. Kekurangannya adalah jika pada saat proses terkontaminasi logam berat, pewarna jenis ini akan berbahaya. Pewarna sintesis ini harus dibatasi jumlahnya karena pada dasarnya, setiap benda sintesis yang masuk ke dalam tubuh kita akan menimbulkan efek. Walaupun pewarna alami dianggap lebih aman dari pewarna sintesis, pewarna ini mempunyai kelemahan yaitu warnanya yang tidak homogen dan ketersediaannya yang terbatas.
Alasan pewarna sintesis masih sangat diminati oleh produsen makanan yaitu :
1. Harga
Pewarna kimia dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pewarna alami, mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang masih cukup rendah.
2. Stabilitas
Pewarna sintesis memiliki tingkat stabilitas yang lebih baik, sehingga warna lebih cerah meskipun sudah mengalami proses pengolahan dan pemanasan. Sedangkan pewarna alami mudah mengalami degradasi atau pemudaran pada saat diolah dan disimpan.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Street Food Project pada tahun 1989 di daerah Jakarta, Bogor, Rangkasbitung dan dikota lainnya, ternyata banyak pedagang makanan jajanan yang menggunakan bahan pewarna buatan ke dalam dagangannya khususnya pada minuman dan makanan. Pewarna buatan yang biasanya digunakan antara lain:
Warna Zat Pewarna Buatan Jenis Minuman dan makanan
Merah
Merah
Merah
Merah
Kuning
Kuning
Kuning
Hijau
Biru Carmoisine
Rhodamin B
Amaranth
Scarlet 4R
Tartrazine
Sunset Yellow
Methanil Yellow
Fast Green FCF
Brilliant Blue Es ampera, es limun
Es campur, es cendol, es kelapa, es sirop, es cincau, es mambo, bakpau, saus
Es campur, sirup, minuman ringan/limun
Es campur
Es limun, es sirop
Es limun, es sirop, es campur
Es sirop, limun, pisang goreng, manisan mangga atau kedondong
Es limun, es cendol
Es mambo
Dari segi kehalalan, pewarna alami memiliki titik kritis yang lebih tinggi. Pewarna natural tidak stabil selama penyimpanan. Untuk mempertahankan warna agar tetap cerah, maka sering digunakan bahan pelapis untuk melindungi dari pengaruh suhu, cahaya, dan kondisi lingkungan lainnya. Bahan pelapis yang sering digunakan adalah gelatin yang berasal dari hewan.
Pewarna alami yang dikenal diantaranya adalah daun suji atau daun pandan untuk warna hijau, kunyit untuk warna kuning, bit, daun jati dan daun jambu untuk warna merah.
Menurut ketentuan Peraturan Menkes RI Permenkes RI No. 239/Menkes/Per/V/85, zat pewarna yang berbahaya dan dilarang digunakan sebagai BTM (bahan tambahan makanan) yaitu Auramine, Alkanet, Butter Yellow, Black 7984, Burn Ember, Chrysoidine, Chrysoidine S, Citrus Red No. 2, Chocolate Brown Fe, Fast Red E, Fast Yellow AB, Guinea Green B, Indanthrene Blue RS, Magenta, Methyl Yellow DE, Orange G, Orange GGN, Orange RN, Orchil dan Orcein, Poncheau 3R, Poncheau SX, Poncheau GR, Rhodamin B, Sudan I, Scarlet GN, dan Violet GB.
Berdasarkan hasil pengamatan di dapat data sebagai berikut
1. Pewarna Alami warna gelap/ kotor
2. Pewarna Sintetis cairan berwarna dan benang wol berwarna
3. Pewarna Tidak Diperbolehkan benang wol berwarna
Berdasarkan data tersebut diatas dapat diketahui bahwa sampel yang diuji positif mengandung pewarna yang tidak diperbolehkan, pewarna alami, dan pewarna sintesis.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Dilema Pewarna Makanan. http://www.republika.co.id. Diakses Sabtu, 31 Desember 2005 pukul 11.15.
Awang, Rahmat. 1995. Kesan Pengawet dalam Makanan. http://www.Prn2.usm.my/mainsite/bulletin/1995/penawar3.htm. Diakses Selasa, 13 Desember 2005 pukul 16.14.
Desroster, Norman W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Effendy, Supli. 2004. Waspadalah Bahan Tambahan Makanan. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0304/18/cakrawala. Diakses Sabtu, 31 Desember 2005 pukul 11.00.
Winarno, Titi Sulistyowati Rahayu. 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. PT. Midas Surya Grafindo, Jakarta.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Prinsip Kerja
Mutu bahan pangan sangat ditentukan oleh beberapa faktor, seperti warna, cita rasa, tekstur, dan nilai gizinya. Faktor yang paling utama tampak pada bahan pangan yaitu warna, karena warna sealin menentukan mutu suatu produk, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan.
Pewarna di dalam bahan tambahan makanan secara garis besar ada 2 macam zat pewarna yang termasuk golongan bahan tambahan makanan, yaitu pewarna alami dan pewarna buatan. Pada umumnya pewarna alami dianggap aman bagi kesehatan, sedangkan pewarna buatan ada yang diperbolehkan dalam penggunaannya ada juga yang tidak diperbolehkan dalam penggunaannya.
Proses pembuatan zat warna sintetik (buatan) biasanya melalui perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat yang sering kali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Pada pembuatan zat warna organik sebelum mencapai produk akhir, harus melalui suatu senyawa terlebih dahulu yang kadang-kadang berbahaya dan sering kali tertinggal dalam hasil akhir atau terbentuk senyawa-senyawa yang berbahaya.
B. Tujuan
Mengetahui apakah zat pewarna yang terkandung dalam suatu makanan atau minuman layak untuk dikonsumsi atau tidak.
C. Tinjauan Pustaka
Undang-undang mendefinisikan suatu pewarna buatan dalam arti luas sebagai setiap bahan pewarna yang mengandung suatu cat atau pigmen. Definisi tidak jelas apakah cat atau zat warna dibuat secara sintesis atau diperoleh dari ekstraksi suatu zat atau pigmen alami dari tanaman atau sumber-sumber lain. Oleh karena itu karamel termasuk dalam definisi ini sebab pewarna ini dibuat dari gula. Kenyataannya bahwa pewarna dapat terjadi baik secara sintesis ataupun secara alami. Semua bahan pangan yang bergula dapat dipandang sebagai pewarna buatan, tetapi karena kemampuan pewarna tersebut dapat dibuat, maka perlu ditentukan apakah pewarna tersebut bersifat buatan (Desrosier, 1998).
Salah satu masalah keamanan pangan yang masih memerlukan pemecahan yaitu penggunaan bahan tambahan makanan dilakukan pada industri pengolahan makanan maupun dalam pembuatan berbagai pangan jajanan, yang umumnya dihasilkan industri kecil atau rumah tangga.
Penggunaan bahan tambahan makanan yang tidak memenuhi syarat termasuk bahan tambahan memang jelas-jelas dilarang, seperti pewarna, pemanis dan bahan pengawet. Pelarangan juga menyangkut dosis penggunaan bahan tambahan yang melampaui ambang batas maksimum yang telah ditentukan (Effendi, 2004).
Zat warna yang akan digunakan harus mnejalani test dan prosedur penggunaannya, yang disebut proses sertifikasi. Proses sertifikasi ini meliputi pengujian kimia, biokimia toksikologi dan analisis media terhadap zat warna tersebut (Winarno, 1994).
Pewarna makanan merupakan bahan tambahan pangan yang dapat memperbaiki penampakan makanan. Penambahan pewarna makanan mempunyai beberapa tujuan, diantaranya adalah memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan dan menstabilkan warna, serta menutupi perhatian warna akibat proses pengolahan dan penyimpanan (Anonim, 2005).
Bahaya kandungan makanan bagi kesehatan tubuh disebabkan oleh sedikitnya 5 (lima) kemungkinan yaitu karena adanya mikroba, zat gizi yang menjadi berlebihan, residu pestisida, zat racun alami dan BTM. Dilihat dari fungsi, BTM dikelompokkan menjadi 11 macam yaitu zat pewarna, zat pengawet, pemanis, penyedap rasa dan aroma pembentukkan serat, antioksidan (untuk mencegah bau tengik), anti kempal, pengatur keasaman, pemutih atau pematang tepung, perenyah dan pengisi dan zat pemantap. Selain itu dikenal juga zat pengering, pencegah buih, pengkilap, pelembab dan pencegah lengket (Awang, 1995).
BAB II
ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA
A. Alat
1. Pemanas bunsen atau kompor listrik
2. Gelas ukur
3. Becker glass
4. Pipet ukur 10 ml steril dan filternya
5. Spatula
B. Bahan
1. Sampel makanan atau minuman
2. Aquades
3. Larutan KHSO4 10%
4. Benang wol
5. NH4OH 10%
6. Larutan CH3COOH/ asam asetat encer
C. Cara Kerja
* Pewarna Yang Diperbolehkan
1. Sampel ditambahkan dalam KHSO4 10% samapi terbentuk suasana asam, kemudian ditambah dengan H2O
2. Sampel dipanaskan sampai mendidih
3. Benang wol dimasukan ke dalam larutan sampel
4. Didihkan selama 10 menit
5. Benang wol diambil dan cuci sampai bersih lalu dibagi menjadi dua bagian :
a. Benang wol ditetesi dengan NH4OH 10% bila terjadi warna hijau kotor berarti zat pewarna yang digunakan termasuk dalam zat pewarna yang diperbolehkan.
b. Benang wol ditambahkan dengan H2O dan didihkan selama 10 menit lalu ditambahkan NH4OH 10%. Kemudian benang wol diambil dan diganti dengan yang baru. Jika benang wol yang baru tersebut dan cairannya berwarna (tidak jernih) maka berarti bahwa zat pewarna yang digunakan termasuk dalam golongan pewarna yang diperbolehkan.
* Pewarna Yang Tidak Diperbolehkan
1. Sampel ditambahkan dengan NH4OH 10% sampai bersuasana basa, lalu ditambah H2O dan dipanaskan sampai mendidih, kemudian tambahkan benang wol.
2. Didihkan selama 10 menit
3. Benang wol diambil dan cuci sampai bersih
4. Ditambahkan CH3COOH atau asam asetat encer
5. Dipanaskan sampai mendidih
6. Benang wol diambil dan diganti dengan yang baru
7. Didihkan sampai 10 menit. Bila benang wol berwarna berarti pewarna yang terkandung dalam sampel tersebut termasuk pewarna yang tidak diperbolehkan.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Pewarna Alami warna gelap/ kotor
2. Pewarna Sintetis cairan berwarna dan benang wol berwarna
3. Pewarna Tidak Diperbolehkan benang wol berwarna
B. Pembahasan
Bahan tambahan makanan yang beredar di pasaran saat ini sangat beraneka ragam macamnya. Para produsen makanan berusaha menarik para konsumen dengan cara menambahkan bahan tambahan makanan ke dalam makanan yang diproduksi, jika penggunaannya melebihi ambang batas yang ditentukan maka dapat berbahaya dalam tubuh jika dikonsumsi, hal ini yang perlu diwapadai oleh kita semua sebagai konsumen.
Salah satu jenis dari bahan tambahan makanan adalah pewarna makanan. Bahan pewarna tambahan yang umum digunakan dalam produksi makanan yaitu bahan pewarna sintesis, karena bahan pewarna sintesis ini selain harganya murah juga memiliki warna yang lebih menarik daripada bahan pewarna buatan.
Secara umum pewarna makanan terdiri dari pewarna sintesis dan alami. Pewarna sintesis pada umumnya terbuat dari bahan-bahan kimia. Penggunaan pewarna sintetis yang tidak proporsional bisa mengganggu kesehatan. Misalnya tartrazin untuk warna kuning, allura red untuk warna merah dan seterusnya. Rhodamin juga sering digunakan untuk mewarnai terasi, kerupuk dan minuman sirup. Pewarna ini dapat menimbulkan kanker dan penyakit lainnya. Kelebihan pewarna jenis ini yaitu warnanya homogen dan penggunaannya sangat efisien karena hanya memerlukan jumlah yang sangat sedikit. Kekurangannya adalah jika pada saat proses terkontaminasi logam berat, pewarna jenis ini akan berbahaya. Pewarna sintesis ini harus dibatasi jumlahnya karena pada dasarnya, setiap benda sintesis yang masuk ke dalam tubuh kita akan menimbulkan efek. Walaupun pewarna alami dianggap lebih aman dari pewarna sintesis, pewarna ini mempunyai kelemahan yaitu warnanya yang tidak homogen dan ketersediaannya yang terbatas.
Alasan pewarna sintesis masih sangat diminati oleh produsen makanan yaitu :
1. Harga
Pewarna kimia dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pewarna alami, mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang masih cukup rendah.
2. Stabilitas
Pewarna sintesis memiliki tingkat stabilitas yang lebih baik, sehingga warna lebih cerah meskipun sudah mengalami proses pengolahan dan pemanasan. Sedangkan pewarna alami mudah mengalami degradasi atau pemudaran pada saat diolah dan disimpan.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Street Food Project pada tahun 1989 di daerah Jakarta, Bogor, Rangkasbitung dan dikota lainnya, ternyata banyak pedagang makanan jajanan yang menggunakan bahan pewarna buatan ke dalam dagangannya khususnya pada minuman dan makanan. Pewarna buatan yang biasanya digunakan antara lain:
Warna Zat Pewarna Buatan Jenis Minuman dan makanan
Merah
Merah
Merah
Merah
Kuning
Kuning
Kuning
Hijau
Biru Carmoisine
Rhodamin B
Amaranth
Scarlet 4R
Tartrazine
Sunset Yellow
Methanil Yellow
Fast Green FCF
Brilliant Blue Es ampera, es limun
Es campur, es cendol, es kelapa, es sirop, es cincau, es mambo, bakpau, saus
Es campur, sirup, minuman ringan/limun
Es campur
Es limun, es sirop
Es limun, es sirop, es campur
Es sirop, limun, pisang goreng, manisan mangga atau kedondong
Es limun, es cendol
Es mambo
Dari segi kehalalan, pewarna alami memiliki titik kritis yang lebih tinggi. Pewarna natural tidak stabil selama penyimpanan. Untuk mempertahankan warna agar tetap cerah, maka sering digunakan bahan pelapis untuk melindungi dari pengaruh suhu, cahaya, dan kondisi lingkungan lainnya. Bahan pelapis yang sering digunakan adalah gelatin yang berasal dari hewan.
Pewarna alami yang dikenal diantaranya adalah daun suji atau daun pandan untuk warna hijau, kunyit untuk warna kuning, bit, daun jati dan daun jambu untuk warna merah.
Menurut ketentuan Peraturan Menkes RI Permenkes RI No. 239/Menkes/Per/V/85, zat pewarna yang berbahaya dan dilarang digunakan sebagai BTM (bahan tambahan makanan) yaitu Auramine, Alkanet, Butter Yellow, Black 7984, Burn Ember, Chrysoidine, Chrysoidine S, Citrus Red No. 2, Chocolate Brown Fe, Fast Red E, Fast Yellow AB, Guinea Green B, Indanthrene Blue RS, Magenta, Methyl Yellow DE, Orange G, Orange GGN, Orange RN, Orchil dan Orcein, Poncheau 3R, Poncheau SX, Poncheau GR, Rhodamin B, Sudan I, Scarlet GN, dan Violet GB.
Berdasarkan hasil pengamatan di dapat data sebagai berikut
1. Pewarna Alami warna gelap/ kotor
2. Pewarna Sintetis cairan berwarna dan benang wol berwarna
3. Pewarna Tidak Diperbolehkan benang wol berwarna
Berdasarkan data tersebut diatas dapat diketahui bahwa sampel yang diuji positif mengandung pewarna yang tidak diperbolehkan, pewarna alami, dan pewarna sintesis.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Dilema Pewarna Makanan. http://www.republika.co.id. Diakses Sabtu, 31 Desember 2005 pukul 11.15.
Awang, Rahmat. 1995. Kesan Pengawet dalam Makanan. http://www.Prn2.usm.my/mainsite/bulletin/1995/penawar3.htm. Diakses Selasa, 13 Desember 2005 pukul 16.14.
Desroster, Norman W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Effendy, Supli. 2004. Waspadalah Bahan Tambahan Makanan. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0304/18/cakrawala. Diakses Sabtu, 31 Desember 2005 pukul 11.00.
Winarno, Titi Sulistyowati Rahayu. 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. PT. Midas Surya Grafindo, Jakarta.
parasitsayuran
PEMERIKSAAN PARASIT PADA SAYURAN
Bab I
A.Prinsip Kerja
Apabila telur parasit berada dalam larutan basa (NaOH) maka telur parasit tersebut berada didasar, karena telur parasit mempunyai berat jenis yang lebih besar sehingga akan mengendap.
B.Tujuan
Praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya telur parasit yang menempel pada sayuran khususnya telur cacing Nematoda usus.
C. Tinjauan Pustaka
Makanan adalah sumber energi satu–satunya bagi kebutuhan tubuh manusia. Makanan selain banyak mengandung nilai gizi juga merupakan media untuk dapat berkembang-biaknya mikroba ataupun kuman-kuman terutama makanan yang sudah membusuk yaitu makanan yang mengandung kadar air serta nilai protein yang tinggi. Kemungkinan untuk jalan masuknya faktor pencemar lainnya seperti bahan kimia antara lain: debu, tanah, rambut manusia yang dapat berpengaruh buruk bagi kesehatan manusia. Hal ini tidak mungkin dikehendaki karena orang yang mengkonsumsi makanan bermaksud untuk mendapatkan sumber energi agar tetap bertahan hidup agar tidak menjadi sakit karenanya. Sanitasi makanan menjadi sangat penting. (Slamet,2002)
Parasit adalah suatu organisme yang hidupnya tergantung pada beberapa faktor metabolik esensial dari organisme lain yang biasanya lebih besar ukuran tubuhnya. Jadi jelas ciri utama dari organisme parasit adalah organisme yang hidupnya selalu tergantung pada organisme lain, merugikan dan lebih kecil bentuknya dibandingkan hospes atau inangnya. (Widyastuti, 2002)
Menurut (Widyastuti, 2002) Siklus hidup parasit pada umumnya dapat dibedakan menjadi 2 tipe: Yaitu tipe langsung dan tipe tidak langsung. Pada siklus hidup tipe langsung, parasit hanya membutuhkan satu inang (Hospes) yaitu hospes definitif dan tidak memerlukan hospes perantara, sedangkan parasit yang bersiklus langsung mempunyai bentuk yang mandiri. Didalam fase bentuk mandiri tersebut parasit menyiapkan diri untuk menghasilkan stadium infektifnya. Pada siklus hidup tidak langsung parasit membutuhkan satu hospes definitif sebagai hospes akhir dan disamping itu diperlukan pula satu atau lebih hospes perantara. Didalam tubuh hospes perantara tersebut parasit tumbuh dan berkembangbiak secara aseksual menjadi bentuk infektifnya, sedangkan didalam tubuh hospes definitif parasit tumbuh menjadi bentuk dewasa dan berkembangbiak secara aseksual. Cara infeksi dibedakan menjadi dua yaitu per-Os ataupun melalui mulut yang tertelan bersama makanan dan minuman yang dikonsumsinya dan per-Cutan atau melalui kulit.
Cacing dari golongan STH (Soil Transmitted Helminthes) memiliki bentuk tubuh silindrik (gilik), memanjang bilateral simetris. Cacing ini bersifat uniseksual sehingga ada jenis jantan dan betina. STH meliputi Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang. (Onggowaluyo, 2002)
STH terdapat diseluruh dunia, maka bersifat kosmopolitan. Penyebaran parasit ini terutama berada di daerah tropis yang tingkat kelembabannya cukup tinggi. Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura memerlukan tanah liat untuk berkembang dengan suhu pertumbuhan optimum 25 0C – 30 0C. habitat utama STH adalah tanah yang terlindung dari sinar matahari sehingga hangat dan kelembaban udara tinggi. (Gandahusada, et. Al, 1998)
BAB II
A. Alat
Alat yang digunakan didalam praktikum ini adalah :
1. Kerucut imhof volume 1 liter
2. Pipet tetes
3. Centrifuge dan tabung
4. Rak tabung
5. Mikroskop
6. Obyek glass
7. Cover glass
8. Ember
9. Pinset
B. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu larutan NaOH 0,2 %, larutan Lugol 1% atau eosin dan Aquades.
C. Prosedur kerja
1. Sayuran dalam ember direndam dengan 1 liter larutan NaOH 0,2 %.
2. Ditunggu selama 30 menit, setelah 30 menit digoyang-goyangkan setelah itu sayuran diangkat dan dikeluarkan dengan menggunakan pinset.
3. NaOH rendaman dituang kedalam kerucut imhoff, kemudian diamkan selama 60 menit.
4. Setelah 60 menit NaOH rendaman bagian atas dibuang, kemudian dengan pipet ukur diambil endapan rendaman sebanyak 10-15 ml.
5. Dimasukan kedalam tabung centrifuge lalu dipusingkan dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit.
6. Endapan yang paling bawah diambil untuk diamati secara mikroskopis.
7. Diambil obyek glass kemudian ditetesi dengan satu tetes larutan Lugol 1 % ataupun dengan Eosin kemudian diambil endapan dari tabung centrifuges satu tetes kemudian dicampur hingga rata setelah itu ditutup mengunakan cover glass.
8. Diamati dibawah mikroskop.
BAB III
A. Hasil
Dari hasil praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran kelompok kami melakukan pemeriksan parasit pada sayuran kemangi dan hasil yang kami peroleh yaitu tidak adanya telur parasit pada rendaman air (negatif).
B.Pembahasan
Makanan tidak saja bermanfaat bagi manusia karena makanan merupakan sumber energi satu-satunya bagi manusia, tetapi juga sangat baik untuk pertumbuhan mikroba yang patogen. Oleh karena itu, untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum dari makanan, perlu dijaga juga sanitasi makanan.
Makanan dapat terkontaminasi oleh berbagai macam jenis racun yang berasal dari tanah, air, udara, manusia dan vektor. Racun dari lingkungan udara, air, tanah dan lainnya dapat masuk kedalam suatu biota. Racun yang dapat memasuki makanan saat ini juga semakin banyak, sebagai akibat sampingan penerapan tekhnologi pertanian, peternakan, pengawetan makanan dan kesehatan. Kontaminasi makanan dapat disebabkan karena kontaminasi pestisida, kontaminasi logam, kontaminasi mikroba yang dapat menyebabkan penyakit. Parasit juga termasuk kedalam penyebab penyakit dalam makanan terutama pada tanaman dan sayuran yang kontak langsung dengan tanah. Tanah merupakan sumber penularan yang paling utama dan terpenting untuk berbagai jenis penyakit. Penyakit-penyakit parasit yang menular dari tanah disebut soil-borne parasitoses. Sebagian besar stadium infektif parasit terdapat dalam tanah.
Manusia yang terinfeksi Ascaris lumbricoides apabila menelan larva ataupun telur yang masih infektif yang kemudian menetas didalam usus halus manusia. Larva yang menembus dinding usus halus akan menuju ke pembuluh darah limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru-paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea melalui bronkiolus dan bronkus. Larva dari trachea menuju ke faring. sehingga menimbulkan berbagai rangsangan pada faring yang akan menuju ke esofagus lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai menjadi cacing dewasa yang bertelur diperlukan waktu kurang lebih dua bulan.
Pencegahan penyakit parasit tergantung pada didirikannya pertahanan terhadap penyebaran parasit dengan menerapkan secara praktis pengetahuan biologi dan epidemiologi parasit. Hampir semua parasit pada suatu saat dalam lingkaran hidupnya rentan terhadap tindakan pemusnahan yang khusus. Tindakan-tindakan dalam pemberantasan penyakit parasit :
1. Mengurangi sumber infeksi pada manusia dengan tindakan terapi.
2. Pendidikan menjaga diri untuk mencegah penyebaran infeksi dan untuk mengurangi kesempatan mendapat infeksi.
3. Pengawasan terhadap sumber air, makanan, keadaan tempat hidup dan tempat bekerja serta pembuangan sampah.
4. Pemusnahan atau pemberantasan hospes reservoir dan vektor.
5. Mendirikan pertahanan biologi terhadap penularan parasit.
Dari hasil praktikum didapatkan hasil yang negatif, sehingga sayuran kemangi aman untuk dikonsumsi, namun walaupun aman untuk dikonsumsi, sayuran harus tetap di cuci terlebih dahulu. Dalam praktikum ini sayuran kemangi di rendam dengan larutan NaOH 0,2 %, karena larutan NaOH mempunyai berat jenis yang lebih ringan dibandingkan dengan telur parasit sehingga telur parasit akan mengendap. Dalam pemeriksaan parasit ini juga digunakan larutan eosin untuk malatarbelakangi parasit yang ada sehingga parasit akan mudah terlihat oleh kita apabila kita periksa dengan menggunakan mikroskop. Namun setelah diperiksa berulang-ulang hasilnya tetap negatif, hal ini disebabkan karena sayuran bebas dari parasit atau karena ketidaktelitian praktikan dalam melakukan praktikum parasit pada sayuran.
DAFTAR PUSTAKA
Gandahusada, S.H. Ilahude, W. Pribadi. 1998. Parasitologi Kedokteran. Balai Penerbitan FKUI, Jakarta.
Onggowaluyo, Jangkung Sumidjo. 2001. Parasitologi Medik I (Helmintologi). EGC, Jakarta.
Slamet, S.J. 2002. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Widyastuti, Retno dkk. 2002. Parasitologi. Universitas Terbuka, Jakarta.
Bab I
A.Prinsip Kerja
Apabila telur parasit berada dalam larutan basa (NaOH) maka telur parasit tersebut berada didasar, karena telur parasit mempunyai berat jenis yang lebih besar sehingga akan mengendap.
B.Tujuan
Praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya telur parasit yang menempel pada sayuran khususnya telur cacing Nematoda usus.
C. Tinjauan Pustaka
Makanan adalah sumber energi satu–satunya bagi kebutuhan tubuh manusia. Makanan selain banyak mengandung nilai gizi juga merupakan media untuk dapat berkembang-biaknya mikroba ataupun kuman-kuman terutama makanan yang sudah membusuk yaitu makanan yang mengandung kadar air serta nilai protein yang tinggi. Kemungkinan untuk jalan masuknya faktor pencemar lainnya seperti bahan kimia antara lain: debu, tanah, rambut manusia yang dapat berpengaruh buruk bagi kesehatan manusia. Hal ini tidak mungkin dikehendaki karena orang yang mengkonsumsi makanan bermaksud untuk mendapatkan sumber energi agar tetap bertahan hidup agar tidak menjadi sakit karenanya. Sanitasi makanan menjadi sangat penting. (Slamet,2002)
Parasit adalah suatu organisme yang hidupnya tergantung pada beberapa faktor metabolik esensial dari organisme lain yang biasanya lebih besar ukuran tubuhnya. Jadi jelas ciri utama dari organisme parasit adalah organisme yang hidupnya selalu tergantung pada organisme lain, merugikan dan lebih kecil bentuknya dibandingkan hospes atau inangnya. (Widyastuti, 2002)
Menurut (Widyastuti, 2002) Siklus hidup parasit pada umumnya dapat dibedakan menjadi 2 tipe: Yaitu tipe langsung dan tipe tidak langsung. Pada siklus hidup tipe langsung, parasit hanya membutuhkan satu inang (Hospes) yaitu hospes definitif dan tidak memerlukan hospes perantara, sedangkan parasit yang bersiklus langsung mempunyai bentuk yang mandiri. Didalam fase bentuk mandiri tersebut parasit menyiapkan diri untuk menghasilkan stadium infektifnya. Pada siklus hidup tidak langsung parasit membutuhkan satu hospes definitif sebagai hospes akhir dan disamping itu diperlukan pula satu atau lebih hospes perantara. Didalam tubuh hospes perantara tersebut parasit tumbuh dan berkembangbiak secara aseksual menjadi bentuk infektifnya, sedangkan didalam tubuh hospes definitif parasit tumbuh menjadi bentuk dewasa dan berkembangbiak secara aseksual. Cara infeksi dibedakan menjadi dua yaitu per-Os ataupun melalui mulut yang tertelan bersama makanan dan minuman yang dikonsumsinya dan per-Cutan atau melalui kulit.
Cacing dari golongan STH (Soil Transmitted Helminthes) memiliki bentuk tubuh silindrik (gilik), memanjang bilateral simetris. Cacing ini bersifat uniseksual sehingga ada jenis jantan dan betina. STH meliputi Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang. (Onggowaluyo, 2002)
STH terdapat diseluruh dunia, maka bersifat kosmopolitan. Penyebaran parasit ini terutama berada di daerah tropis yang tingkat kelembabannya cukup tinggi. Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura memerlukan tanah liat untuk berkembang dengan suhu pertumbuhan optimum 25 0C – 30 0C. habitat utama STH adalah tanah yang terlindung dari sinar matahari sehingga hangat dan kelembaban udara tinggi. (Gandahusada, et. Al, 1998)
BAB II
A. Alat
Alat yang digunakan didalam praktikum ini adalah :
1. Kerucut imhof volume 1 liter
2. Pipet tetes
3. Centrifuge dan tabung
4. Rak tabung
5. Mikroskop
6. Obyek glass
7. Cover glass
8. Ember
9. Pinset
B. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu larutan NaOH 0,2 %, larutan Lugol 1% atau eosin dan Aquades.
C. Prosedur kerja
1. Sayuran dalam ember direndam dengan 1 liter larutan NaOH 0,2 %.
2. Ditunggu selama 30 menit, setelah 30 menit digoyang-goyangkan setelah itu sayuran diangkat dan dikeluarkan dengan menggunakan pinset.
3. NaOH rendaman dituang kedalam kerucut imhoff, kemudian diamkan selama 60 menit.
4. Setelah 60 menit NaOH rendaman bagian atas dibuang, kemudian dengan pipet ukur diambil endapan rendaman sebanyak 10-15 ml.
5. Dimasukan kedalam tabung centrifuge lalu dipusingkan dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit.
6. Endapan yang paling bawah diambil untuk diamati secara mikroskopis.
7. Diambil obyek glass kemudian ditetesi dengan satu tetes larutan Lugol 1 % ataupun dengan Eosin kemudian diambil endapan dari tabung centrifuges satu tetes kemudian dicampur hingga rata setelah itu ditutup mengunakan cover glass.
8. Diamati dibawah mikroskop.
BAB III
A. Hasil
Dari hasil praktikum pemeriksaan parasit pada sayuran kelompok kami melakukan pemeriksan parasit pada sayuran kemangi dan hasil yang kami peroleh yaitu tidak adanya telur parasit pada rendaman air (negatif).
B.Pembahasan
Makanan tidak saja bermanfaat bagi manusia karena makanan merupakan sumber energi satu-satunya bagi manusia, tetapi juga sangat baik untuk pertumbuhan mikroba yang patogen. Oleh karena itu, untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum dari makanan, perlu dijaga juga sanitasi makanan.
Makanan dapat terkontaminasi oleh berbagai macam jenis racun yang berasal dari tanah, air, udara, manusia dan vektor. Racun dari lingkungan udara, air, tanah dan lainnya dapat masuk kedalam suatu biota. Racun yang dapat memasuki makanan saat ini juga semakin banyak, sebagai akibat sampingan penerapan tekhnologi pertanian, peternakan, pengawetan makanan dan kesehatan. Kontaminasi makanan dapat disebabkan karena kontaminasi pestisida, kontaminasi logam, kontaminasi mikroba yang dapat menyebabkan penyakit. Parasit juga termasuk kedalam penyebab penyakit dalam makanan terutama pada tanaman dan sayuran yang kontak langsung dengan tanah. Tanah merupakan sumber penularan yang paling utama dan terpenting untuk berbagai jenis penyakit. Penyakit-penyakit parasit yang menular dari tanah disebut soil-borne parasitoses. Sebagian besar stadium infektif parasit terdapat dalam tanah.
Manusia yang terinfeksi Ascaris lumbricoides apabila menelan larva ataupun telur yang masih infektif yang kemudian menetas didalam usus halus manusia. Larva yang menembus dinding usus halus akan menuju ke pembuluh darah limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru-paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea melalui bronkiolus dan bronkus. Larva dari trachea menuju ke faring. sehingga menimbulkan berbagai rangsangan pada faring yang akan menuju ke esofagus lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai menjadi cacing dewasa yang bertelur diperlukan waktu kurang lebih dua bulan.
Pencegahan penyakit parasit tergantung pada didirikannya pertahanan terhadap penyebaran parasit dengan menerapkan secara praktis pengetahuan biologi dan epidemiologi parasit. Hampir semua parasit pada suatu saat dalam lingkaran hidupnya rentan terhadap tindakan pemusnahan yang khusus. Tindakan-tindakan dalam pemberantasan penyakit parasit :
1. Mengurangi sumber infeksi pada manusia dengan tindakan terapi.
2. Pendidikan menjaga diri untuk mencegah penyebaran infeksi dan untuk mengurangi kesempatan mendapat infeksi.
3. Pengawasan terhadap sumber air, makanan, keadaan tempat hidup dan tempat bekerja serta pembuangan sampah.
4. Pemusnahan atau pemberantasan hospes reservoir dan vektor.
5. Mendirikan pertahanan biologi terhadap penularan parasit.
Dari hasil praktikum didapatkan hasil yang negatif, sehingga sayuran kemangi aman untuk dikonsumsi, namun walaupun aman untuk dikonsumsi, sayuran harus tetap di cuci terlebih dahulu. Dalam praktikum ini sayuran kemangi di rendam dengan larutan NaOH 0,2 %, karena larutan NaOH mempunyai berat jenis yang lebih ringan dibandingkan dengan telur parasit sehingga telur parasit akan mengendap. Dalam pemeriksaan parasit ini juga digunakan larutan eosin untuk malatarbelakangi parasit yang ada sehingga parasit akan mudah terlihat oleh kita apabila kita periksa dengan menggunakan mikroskop. Namun setelah diperiksa berulang-ulang hasilnya tetap negatif, hal ini disebabkan karena sayuran bebas dari parasit atau karena ketidaktelitian praktikan dalam melakukan praktikum parasit pada sayuran.
DAFTAR PUSTAKA
Gandahusada, S.H. Ilahude, W. Pribadi. 1998. Parasitologi Kedokteran. Balai Penerbitan FKUI, Jakarta.
Onggowaluyo, Jangkung Sumidjo. 2001. Parasitologi Medik I (Helmintologi). EGC, Jakarta.
Slamet, S.J. 2002. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Widyastuti, Retno dkk. 2002. Parasitologi. Universitas Terbuka, Jakarta.
pemanis
PEMERIKSAAN KUALITAS BAHAN PEMANIS
DALAM BAHAN MAKANAN DAN MINUMAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Prinsip Kerja
Salah satu bahan tambahan makanan adalah pemanis. Dengan adanya pemanis pada makanan, maka hasil olahan makanan yang disajikan ataupun dijual akan memberikan rasa yang lebih nikmat. Pemanis tambahan ini digunakan sebagai pengganti pemanis alami yaitu gula, karena harganya lebih murah dari pada gula dan mudah didapat. Bahan pemanis yang biasa ditambahkan pada bahan makan adalah sakarin dan siklamat.. Pemanis tambahan ini akan memberikan rasa yang lebih manis, meskipun demikian bila penggunaannya berlebihan atau terus menerus maka akan mengakibatkan terakumulasinya bahan-bahan tersebut di dalam tubuh.
Hal tersebut di atas dapat menimbulkan masalah kesehatan. Siklamat misalnya, penggunaannya yang berlebihan akan menimbulkan penyakit kanker. Oleh karena itu penggunaan bahan pemanis buatan (sintetik) dalam bahan makanan dan minuman hendaknya dibatasi dan jangan melapaui nilai ambang batas.
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Mengetahui cara penentuan ada tidaknya bahan tambahan dalam hal ini pemanis sinteteis dalam makanan dan minuman.
2. Mengetahui ada tidaknya bahan tambahan makanan dalam hal ini pemanis sintetis dalam makanan dan minuman.
C. Tinjauan Pustaka
Pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi. Biasanya digunakan pada makanan yang ditujukan untuk para penderita diabetes melitus atau untuk makanan diit agar badan langsing. Pemanis sintetis adalah zat yang dapat menimbulkan rasa manis atau dapat membantu mempertajam penerimaan terhadap rasa manis tersebut, sedangkan kalori yang dihasilkannya jauh lebih rendah daripada gula murni. Umumnya struktur kimia zat pemanis sintetis berbeda dengan struktur polihidrat gula murni (Winaryo, 1986).
Zat pemanis bukan gula (sweetner) adalah zat pemanis yang tidak menghasilkan kalori. Contohnya adalah sakarin dan natrium kalsium juga Mg dan kalium siklamat. Bahan ini ditambahkan dalam minuman penyegar, buah-buahan kaleng dan lain-lain. Zat pemanis ini juga dapat membuat orang yang tidak diperbolehkan mengkonsumsi gula dengan menambahkannya dalam makanan dan minuman. Beberapa pemanis yang baru-baru ini ditemukan memiliki rasa manis kurang lebih 10 – 300 kali sukrosa (Winaryo, et all, 1980).
Rasa manis yang dirasakan oleh lidah terkadang bukanlah rasa manis yang sebenarnya. Untuk menganalisa apakah rasa manis tersebut manis secara alami atau bukan maka perlu diperhatikan :
1. Mutu rasa manis
Hampir seluruh kelompok gula memiliki rasa manis, tetapi masing-masing bahan kelompok ini memiliki mutu rasa manis yang khas antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh sifat alamiah atau kimiawi dari bahan tersebut.
3. Intensitas rasa manis
Berkaitan dengan nilai relatif rasa manis dalam konsentrasi yang sama maupun berbeda antara masing-masing bahan pemanis.
4. Kenikmatan rasa manis
Bergantung dari persepsi citarasa pribadi yang mencantumkan kesukaan seseorang terhadap bahan pemanis tertentu (Sudarmadji, 1982).
Na-sakarin yang terserap ke dalam tubuh tidak akan mengalami metabolisme sehingga akan diekskresikan melalui urine tanpa perubahan kimia. Rasa pahit yang menyertai sakarin disebabkan oleh ketidakmurnian bahan. Menurut UU pangan di Amerika Serikat yang disebut The Food, Drug, and Cosmetic Act, menyatakan suatu ketentuan yang kini dikenal sebagai Delaney Clause pada tahun 1958, bahwa tidak ada satupun bahan tambahan makanan dapat digunakan ke dalam makanan, bila secara laboratorium hasil percobaan pemberian ransum dari bahan tersebut dianggap tepat menunjukkan indikasi bahwa senyawa tersebut memiliki peluang yang dapat menyebabkan kanker.
Pada tahun 1968 National Academi of Science, menyatakan bahwa sebetulnya konsumsi sakarin oleh orang dewasa sebanyak 1 gr atau lebih rendah, tidak akan menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan. Tetapi kemudian muncul laporan dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sakarin dalam dosis tinggi dapat menyebabkan kanker pada binatang percobaan. Meskipun begitu di Indonesia, Pemerintah mengeluarkan peraturan melalui Menteri Kesehatan RI No.208/MENKES/Per/IV/1985,tentang Pemanis Buatan dan No.722/MENKES/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, bahwa pada makanan dan minuman olahan khusus yaitu berkalori rendah dan untuk penderita diabetes mellitus, kadar maksimum sakarin yang diperbolehkan adalah 300 mg/kg.
Siklamat pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan dari University of Illinois pada tahun 1937, penemuan tersebut sebenarnya merupakan suatu ketidaksengajaan karena ia salah meletakkan rokok pada tumpukan kristal. Setelah rokok dihisapnya kembali, ada sesuatu yang terasa sangat manis pada bibirnya, hal ini ternyata disebabkan oleh derivat (turunan) dari cyclohexyl sulfamic acid yang terasa sangat manis dan lezat. Dari kejadian tersebut lahirlah senyawa baru, pemanis buatan siklamat, yang mempunyai intensitas kemanisan 30 kali dari tingkat kemanisan gula tebu murni.
Zat pemanis lain yang bisa digunakan adalah siklamat yang merupakan garam natrium dari asam siklamat dengan rumus molekul C6H11NHSO3. Natrium siklamat sangat mudah larut dalam air dan memiliki intensitas kemanisan sekitar 30 kali lebih manis dibandingkan dengan gula tebu murni. Rasa manis ini masih dapat dirasakan dengan cara pengenceran 1 : 1000 (Sudarmadji, 1982).
Siklamat diperkenalkan ke dalam minuman dan makanan pada permulaan tahun 1950-an. Siklamat biasa dipakai dalam bentuk garam Na dari asam siklamat. Umumnya zat pemanis buatan mempunyai struktur kimia yang berbeda dengan struktur polihidrat gula alam. Pada tahun 1969 dilaporkan hasil penelitian siklamat yang menyebabkan timbulnya kanker kandung kemih pada tikus yang diberi ransum siklamat dan sakarin. Hasil metabolisme siklamat yaitu cyclohexylamine mempunyai sifat karsinogenik.
BAB II
ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA
A. Alat
1. Labu pemisah
2. Water bath
3. Tabung reaksi
4. Gelas ukur
5. Pipet
B Bahan
* Bahan Pemeriksaan Sakarin
1. 0,5 ml larutan K.Na Tartrat 3%
2. 0,5 ml nessler
* Bahan Pemeriksaan Siklamat
1. 5 ml residu
2. 5 tetes larutan NaNO2 10%
3. 5 tetes larutan BaCl2 10%
C. Cara Kerja
100 ml larutan sampel (sirup) diasamakan dengan larutan H2SO4 kemudian diekstrasi dengan larutan eter 50 ml. Lapisan eter dipisahkan dan dikeringkan dan ditambah aquades sebanyak 10 ml, kemudian dibagi menjadi 2 bagian.
1. Pemeriksaan sakarin
5 ml residu ditambah 0,5 ml larutan KNa tartrat 3%, ditambah 0,5 ml nessler kemudian dikocok. Bila terbentuk larutan atau endapan berwarna kuning berati positif terdapat sakarin.
2. Pemeriksaan siklamat
5 ml residu ditambah 5 tetes larutan NaNO2 10%, ditambah 5 tetes larutan BaCl2 10% kemudian dipanaskan ke dalam water beth selama 10 menit. Bila terbentuk endapan berwarna putih berarti positif terdapat siklamat.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Dari hasil praktikum didapatkan data sebagai berikut:
1. Pemeriksaan sakarin terbentuk endapan berwarna kuning (positif).
2. Pemeriksaan siklamat terbentuk endapan berwarna putih (positif).
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum menunjukkan bahwa pada bahan makanan yang diuji yaitu sirup mengandung sakarin dan siklamat, yaitu dengan terbentuk endapan berwarna kuning untuk sakarin dan endapan berwarna putih untuk siklamat. Hal ini dapat dijadikan pedoman masyarakat dalam memilih makanan dan minuman yang akan dikonsumsi, apakah makanan atau minuman tersebut mengandung pemanis buatan atau tidak.
Pemanis buatan yang sering dipakai oleh produsen makanan dan minuman yaitu sakarin dan siklamat. Sakarin memiliki intensitas kemanisan 300 kali lebih manis dibandingkan dengan sukrosa. Natrium sakarin yang terserap dalam tubuh manusia tidak akan mengalami metabolisme, sehingga akan dieksresikan melalui urin tanpa perubahan kimiawi. Selain itu sakarin juga dapat menimbulkan rasa pahit, ini disebabkan oleh adanya ketidakmurnian bahan. Meskipun demikian rasa pahit ini dapat dikurangi dengan sintesa sakarin dari asam antromilat atau benzhothiophene.
Pemakaian sakarin dalam bahan makanan atau minuman menurut Peraturan Menteri 10/79/A/SK/74 tahun 1974 hanya diperbolehkan dalam kadar maksimum yang jauh lebih kecil daripada kadar siklamat yang diperbolehkan. Untuk makan olahan khusus yaitu yang berkalori rendah untuk penderita diabetes, kadar maksimum sakarin yang diperbolehkan adalah 0,15 ppm dan untuk minuman adalah 0,005 ppm.
Sakarin dapat diuji sebagai garam natrium atau kalsium ortobenzosulfida. Rumus struktur natrium sakarin ditunjukkan dalam gambar berikut :
Natrium – sakarin secara sintetis pertama kali dibuat oleh Ira Remsen dan Constantine Fahlberg dari Johns Hopkins University pada tahun 1879 dengan reaksi sebagai berikut:
Siklamat merupakan garam natrium dari asam siklamat dengan rumus molekul C6H11NHSO3Na. Nartium siklamat berasa manis tanpa rasa ikutan yang kurang disenangi. Silkamat sangat mudah larut dalam air dan intesitas kemanisannya sekitar 30 kali tingkat kemanisan dari gula tebu murni. pH laturan siklamat 10 % terletak antara 5,5 sampai 7,5. Rumus bangun kimia siklamat adalah sebagai berikut:
Natrium siklamat dalam industri makanan dipakai sebagai bahan pemanis nirgizi (non-nutritive) untuk mengganti sukrosa. Dalam perdagangan dikenal sebagai Assurin, Sucaryl, Sucrosa. Nama kimiawinya adalah natrium-sikloheksilsulfamat atau natrium siklamat. Siklamat banyak digunakan sebagai bahan pemanis tambahan pada produk makanan kaleng karena sifatnya yang tahan panas, selain itu juga memiliki intensitas kemanisa 30 kali lebih besar dibandingkan dengan gula alami. Meskipun demikian siklamat dapat membahayakan kesehatan karena dapat bersifat karsinogenik.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/MenKes/Per/IX/88, kadar maksimum asam siklamat yang diperbolehkan dalam makanan atau minuman berkalori rendah dan untuk penderita diabetes mellitus adalah 3 gr/kg bahan makanan/minuman. Dan menurut WHO batas konsumsi harian siklamat yang aman (ADI) adalah 11 mg/kg berat badan. Adanya peraturan bahwa penggunaan siklamat dan sakarin masih diperbolehkan, serta kemudahan mendapatkannya dengan harga yang relatif murah dibandingkan dengan gula alam, menyebabkan produsen makanan dan minuman terdorong untuk menggunakan kedua jenis pemanis buatan tersebut di dalam produknya.
Selain itu, menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (No. 10179/A/SK/74) tahun 74 kadar maksimum asam siklamat yang diperbolehkan dalam makanan berkalori rendah dan untuk penderita DM adalah 2,0 ppm. Sedangkan untuk bahan minuman (yang diizinkan ditambahkan zat pemanis buatan sesuai dengan peraturan yang berlaku) kadar siklamat maksimum yang diperbolehkan hanya 0,06 ppm.
Alternatif bahan pemanis sintetik lain yang sekarang inin dikembangkan adalah Acesulfame Potassium (Acesulfame K). Bahan pemanis ini penggunaannya diizinkan secara luas dalam produk pangan seperti tablet, dessert, puding, makanan yang dibakar, permen dan minuman ringan. Acesulfame K mudah larut dalam air dan sangat stabil setelah penyimpanan beberapa bulan. Intensitas kemanisannya 150 kali lebih tinggi dibandingkan gula murni. Pemanis ini adalah garam kalium 6-metil-1,2,3-oksatiozina-4(3H)-on-2,2-dioksida.
Tabel Kemanisan nisbi gula dan pemanis lain
Senyawa Kemanisan nisbi
Sakarosa
Laktosa
Maltosa
Sorbitol
Galaktosa
Glukosa
Manitol
Gliserol
Fruktosa
Siklamat
Glisirizin
Ester metil asparitil-fenilalanina
Steviosida
Naringgin dihidrokalkon
Sakarin
Neohesperidin dihidrokalkon 1
0,27
0,5
0,5
0,6
0,5 – 0,7
0,7
0,8
1,1 – 1,5
30 – 80
50
100 – 200
300
300
500 – 700
1000 - 1500
Kemanisan nisbi sejumlah gula dan pemanis lainnya telah dilaporkan oleh Solms (1971). Angka-angka ini berlaku untuk senyawa yang dirasai secara tunggal dan belum tentu berlaku untuk gula dalam makanan, kecuali dalam arti umum. Kemanisan nisbi campuran gula berubah sesuai dengan konsentrasi komponennya.
Bahan pemanis sintetik yang juga dapat digunakan sebagai alternatif lain adalah alitam. Alitam terbentuk dari asam L-asparotik dan D-alamin dengan gugus amida yang bertanggunbjawab untuk menguatkan intensitas kemanisannya tanpa menimbulkan rasa pahit. Alit amin sangat stabil dalam air pada pH isoelektrik. Kelarutannya sangat baik dalam pelarut polar dan cukup stabil penggunaannya dalam permen.
Bahan pemanis sintetik baru yang saat ini sedang dikembangkan dan diperkirakan akan populer adalah tagalosa dan trehalosa. Tagalosa potensial digunakan dalam banyak produk seperti manisan, es krim, minuman ringan, sereal dan fungsinya sebagai pengganti tepung. Mempunyai efek sinergik dengan pemanis lain dan dapat dipasangkan dengan pemanis rendah kalori untuk meningkatkan tekstur rasa di mulut.
Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa tidak ada bahan pemanis yang sempurna. Pengalaman di lapangan dan rekomendasi dari ahli pangan sangat bermanfaat pada saat memilih dan menentukan pemanis mana yang akan digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarmadji, Slamet. 1982. Bahan – Bahan Pemanis. Agritech, Yogyakarta.
Winaryo, F.G., 1986. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.
___________. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia, Jakarta.
DALAM BAHAN MAKANAN DAN MINUMAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Prinsip Kerja
Salah satu bahan tambahan makanan adalah pemanis. Dengan adanya pemanis pada makanan, maka hasil olahan makanan yang disajikan ataupun dijual akan memberikan rasa yang lebih nikmat. Pemanis tambahan ini digunakan sebagai pengganti pemanis alami yaitu gula, karena harganya lebih murah dari pada gula dan mudah didapat. Bahan pemanis yang biasa ditambahkan pada bahan makan adalah sakarin dan siklamat.. Pemanis tambahan ini akan memberikan rasa yang lebih manis, meskipun demikian bila penggunaannya berlebihan atau terus menerus maka akan mengakibatkan terakumulasinya bahan-bahan tersebut di dalam tubuh.
Hal tersebut di atas dapat menimbulkan masalah kesehatan. Siklamat misalnya, penggunaannya yang berlebihan akan menimbulkan penyakit kanker. Oleh karena itu penggunaan bahan pemanis buatan (sintetik) dalam bahan makanan dan minuman hendaknya dibatasi dan jangan melapaui nilai ambang batas.
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Mengetahui cara penentuan ada tidaknya bahan tambahan dalam hal ini pemanis sinteteis dalam makanan dan minuman.
2. Mengetahui ada tidaknya bahan tambahan makanan dalam hal ini pemanis sintetis dalam makanan dan minuman.
C. Tinjauan Pustaka
Pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi. Biasanya digunakan pada makanan yang ditujukan untuk para penderita diabetes melitus atau untuk makanan diit agar badan langsing. Pemanis sintetis adalah zat yang dapat menimbulkan rasa manis atau dapat membantu mempertajam penerimaan terhadap rasa manis tersebut, sedangkan kalori yang dihasilkannya jauh lebih rendah daripada gula murni. Umumnya struktur kimia zat pemanis sintetis berbeda dengan struktur polihidrat gula murni (Winaryo, 1986).
Zat pemanis bukan gula (sweetner) adalah zat pemanis yang tidak menghasilkan kalori. Contohnya adalah sakarin dan natrium kalsium juga Mg dan kalium siklamat. Bahan ini ditambahkan dalam minuman penyegar, buah-buahan kaleng dan lain-lain. Zat pemanis ini juga dapat membuat orang yang tidak diperbolehkan mengkonsumsi gula dengan menambahkannya dalam makanan dan minuman. Beberapa pemanis yang baru-baru ini ditemukan memiliki rasa manis kurang lebih 10 – 300 kali sukrosa (Winaryo, et all, 1980).
Rasa manis yang dirasakan oleh lidah terkadang bukanlah rasa manis yang sebenarnya. Untuk menganalisa apakah rasa manis tersebut manis secara alami atau bukan maka perlu diperhatikan :
1. Mutu rasa manis
Hampir seluruh kelompok gula memiliki rasa manis, tetapi masing-masing bahan kelompok ini memiliki mutu rasa manis yang khas antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh sifat alamiah atau kimiawi dari bahan tersebut.
3. Intensitas rasa manis
Berkaitan dengan nilai relatif rasa manis dalam konsentrasi yang sama maupun berbeda antara masing-masing bahan pemanis.
4. Kenikmatan rasa manis
Bergantung dari persepsi citarasa pribadi yang mencantumkan kesukaan seseorang terhadap bahan pemanis tertentu (Sudarmadji, 1982).
Na-sakarin yang terserap ke dalam tubuh tidak akan mengalami metabolisme sehingga akan diekskresikan melalui urine tanpa perubahan kimia. Rasa pahit yang menyertai sakarin disebabkan oleh ketidakmurnian bahan. Menurut UU pangan di Amerika Serikat yang disebut The Food, Drug, and Cosmetic Act, menyatakan suatu ketentuan yang kini dikenal sebagai Delaney Clause pada tahun 1958, bahwa tidak ada satupun bahan tambahan makanan dapat digunakan ke dalam makanan, bila secara laboratorium hasil percobaan pemberian ransum dari bahan tersebut dianggap tepat menunjukkan indikasi bahwa senyawa tersebut memiliki peluang yang dapat menyebabkan kanker.
Pada tahun 1968 National Academi of Science, menyatakan bahwa sebetulnya konsumsi sakarin oleh orang dewasa sebanyak 1 gr atau lebih rendah, tidak akan menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan. Tetapi kemudian muncul laporan dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sakarin dalam dosis tinggi dapat menyebabkan kanker pada binatang percobaan. Meskipun begitu di Indonesia, Pemerintah mengeluarkan peraturan melalui Menteri Kesehatan RI No.208/MENKES/Per/IV/1985,tentang Pemanis Buatan dan No.722/MENKES/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, bahwa pada makanan dan minuman olahan khusus yaitu berkalori rendah dan untuk penderita diabetes mellitus, kadar maksimum sakarin yang diperbolehkan adalah 300 mg/kg.
Siklamat pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan dari University of Illinois pada tahun 1937, penemuan tersebut sebenarnya merupakan suatu ketidaksengajaan karena ia salah meletakkan rokok pada tumpukan kristal. Setelah rokok dihisapnya kembali, ada sesuatu yang terasa sangat manis pada bibirnya, hal ini ternyata disebabkan oleh derivat (turunan) dari cyclohexyl sulfamic acid yang terasa sangat manis dan lezat. Dari kejadian tersebut lahirlah senyawa baru, pemanis buatan siklamat, yang mempunyai intensitas kemanisan 30 kali dari tingkat kemanisan gula tebu murni.
Zat pemanis lain yang bisa digunakan adalah siklamat yang merupakan garam natrium dari asam siklamat dengan rumus molekul C6H11NHSO3. Natrium siklamat sangat mudah larut dalam air dan memiliki intensitas kemanisan sekitar 30 kali lebih manis dibandingkan dengan gula tebu murni. Rasa manis ini masih dapat dirasakan dengan cara pengenceran 1 : 1000 (Sudarmadji, 1982).
Siklamat diperkenalkan ke dalam minuman dan makanan pada permulaan tahun 1950-an. Siklamat biasa dipakai dalam bentuk garam Na dari asam siklamat. Umumnya zat pemanis buatan mempunyai struktur kimia yang berbeda dengan struktur polihidrat gula alam. Pada tahun 1969 dilaporkan hasil penelitian siklamat yang menyebabkan timbulnya kanker kandung kemih pada tikus yang diberi ransum siklamat dan sakarin. Hasil metabolisme siklamat yaitu cyclohexylamine mempunyai sifat karsinogenik.
BAB II
ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA
A. Alat
1. Labu pemisah
2. Water bath
3. Tabung reaksi
4. Gelas ukur
5. Pipet
B Bahan
* Bahan Pemeriksaan Sakarin
1. 0,5 ml larutan K.Na Tartrat 3%
2. 0,5 ml nessler
* Bahan Pemeriksaan Siklamat
1. 5 ml residu
2. 5 tetes larutan NaNO2 10%
3. 5 tetes larutan BaCl2 10%
C. Cara Kerja
100 ml larutan sampel (sirup) diasamakan dengan larutan H2SO4 kemudian diekstrasi dengan larutan eter 50 ml. Lapisan eter dipisahkan dan dikeringkan dan ditambah aquades sebanyak 10 ml, kemudian dibagi menjadi 2 bagian.
1. Pemeriksaan sakarin
5 ml residu ditambah 0,5 ml larutan KNa tartrat 3%, ditambah 0,5 ml nessler kemudian dikocok. Bila terbentuk larutan atau endapan berwarna kuning berati positif terdapat sakarin.
2. Pemeriksaan siklamat
5 ml residu ditambah 5 tetes larutan NaNO2 10%, ditambah 5 tetes larutan BaCl2 10% kemudian dipanaskan ke dalam water beth selama 10 menit. Bila terbentuk endapan berwarna putih berarti positif terdapat siklamat.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Dari hasil praktikum didapatkan data sebagai berikut:
1. Pemeriksaan sakarin terbentuk endapan berwarna kuning (positif).
2. Pemeriksaan siklamat terbentuk endapan berwarna putih (positif).
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum menunjukkan bahwa pada bahan makanan yang diuji yaitu sirup mengandung sakarin dan siklamat, yaitu dengan terbentuk endapan berwarna kuning untuk sakarin dan endapan berwarna putih untuk siklamat. Hal ini dapat dijadikan pedoman masyarakat dalam memilih makanan dan minuman yang akan dikonsumsi, apakah makanan atau minuman tersebut mengandung pemanis buatan atau tidak.
Pemanis buatan yang sering dipakai oleh produsen makanan dan minuman yaitu sakarin dan siklamat. Sakarin memiliki intensitas kemanisan 300 kali lebih manis dibandingkan dengan sukrosa. Natrium sakarin yang terserap dalam tubuh manusia tidak akan mengalami metabolisme, sehingga akan dieksresikan melalui urin tanpa perubahan kimiawi. Selain itu sakarin juga dapat menimbulkan rasa pahit, ini disebabkan oleh adanya ketidakmurnian bahan. Meskipun demikian rasa pahit ini dapat dikurangi dengan sintesa sakarin dari asam antromilat atau benzhothiophene.
Pemakaian sakarin dalam bahan makanan atau minuman menurut Peraturan Menteri 10/79/A/SK/74 tahun 1974 hanya diperbolehkan dalam kadar maksimum yang jauh lebih kecil daripada kadar siklamat yang diperbolehkan. Untuk makan olahan khusus yaitu yang berkalori rendah untuk penderita diabetes, kadar maksimum sakarin yang diperbolehkan adalah 0,15 ppm dan untuk minuman adalah 0,005 ppm.
Sakarin dapat diuji sebagai garam natrium atau kalsium ortobenzosulfida. Rumus struktur natrium sakarin ditunjukkan dalam gambar berikut :
Natrium – sakarin secara sintetis pertama kali dibuat oleh Ira Remsen dan Constantine Fahlberg dari Johns Hopkins University pada tahun 1879 dengan reaksi sebagai berikut:
Siklamat merupakan garam natrium dari asam siklamat dengan rumus molekul C6H11NHSO3Na. Nartium siklamat berasa manis tanpa rasa ikutan yang kurang disenangi. Silkamat sangat mudah larut dalam air dan intesitas kemanisannya sekitar 30 kali tingkat kemanisan dari gula tebu murni. pH laturan siklamat 10 % terletak antara 5,5 sampai 7,5. Rumus bangun kimia siklamat adalah sebagai berikut:
Natrium siklamat dalam industri makanan dipakai sebagai bahan pemanis nirgizi (non-nutritive) untuk mengganti sukrosa. Dalam perdagangan dikenal sebagai Assurin, Sucaryl, Sucrosa. Nama kimiawinya adalah natrium-sikloheksilsulfamat atau natrium siklamat. Siklamat banyak digunakan sebagai bahan pemanis tambahan pada produk makanan kaleng karena sifatnya yang tahan panas, selain itu juga memiliki intensitas kemanisa 30 kali lebih besar dibandingkan dengan gula alami. Meskipun demikian siklamat dapat membahayakan kesehatan karena dapat bersifat karsinogenik.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/MenKes/Per/IX/88, kadar maksimum asam siklamat yang diperbolehkan dalam makanan atau minuman berkalori rendah dan untuk penderita diabetes mellitus adalah 3 gr/kg bahan makanan/minuman. Dan menurut WHO batas konsumsi harian siklamat yang aman (ADI) adalah 11 mg/kg berat badan. Adanya peraturan bahwa penggunaan siklamat dan sakarin masih diperbolehkan, serta kemudahan mendapatkannya dengan harga yang relatif murah dibandingkan dengan gula alam, menyebabkan produsen makanan dan minuman terdorong untuk menggunakan kedua jenis pemanis buatan tersebut di dalam produknya.
Selain itu, menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (No. 10179/A/SK/74) tahun 74 kadar maksimum asam siklamat yang diperbolehkan dalam makanan berkalori rendah dan untuk penderita DM adalah 2,0 ppm. Sedangkan untuk bahan minuman (yang diizinkan ditambahkan zat pemanis buatan sesuai dengan peraturan yang berlaku) kadar siklamat maksimum yang diperbolehkan hanya 0,06 ppm.
Alternatif bahan pemanis sintetik lain yang sekarang inin dikembangkan adalah Acesulfame Potassium (Acesulfame K). Bahan pemanis ini penggunaannya diizinkan secara luas dalam produk pangan seperti tablet, dessert, puding, makanan yang dibakar, permen dan minuman ringan. Acesulfame K mudah larut dalam air dan sangat stabil setelah penyimpanan beberapa bulan. Intensitas kemanisannya 150 kali lebih tinggi dibandingkan gula murni. Pemanis ini adalah garam kalium 6-metil-1,2,3-oksatiozina-4(3H)-on-2,2-dioksida.
Tabel Kemanisan nisbi gula dan pemanis lain
Senyawa Kemanisan nisbi
Sakarosa
Laktosa
Maltosa
Sorbitol
Galaktosa
Glukosa
Manitol
Gliserol
Fruktosa
Siklamat
Glisirizin
Ester metil asparitil-fenilalanina
Steviosida
Naringgin dihidrokalkon
Sakarin
Neohesperidin dihidrokalkon 1
0,27
0,5
0,5
0,6
0,5 – 0,7
0,7
0,8
1,1 – 1,5
30 – 80
50
100 – 200
300
300
500 – 700
1000 - 1500
Kemanisan nisbi sejumlah gula dan pemanis lainnya telah dilaporkan oleh Solms (1971). Angka-angka ini berlaku untuk senyawa yang dirasai secara tunggal dan belum tentu berlaku untuk gula dalam makanan, kecuali dalam arti umum. Kemanisan nisbi campuran gula berubah sesuai dengan konsentrasi komponennya.
Bahan pemanis sintetik yang juga dapat digunakan sebagai alternatif lain adalah alitam. Alitam terbentuk dari asam L-asparotik dan D-alamin dengan gugus amida yang bertanggunbjawab untuk menguatkan intensitas kemanisannya tanpa menimbulkan rasa pahit. Alit amin sangat stabil dalam air pada pH isoelektrik. Kelarutannya sangat baik dalam pelarut polar dan cukup stabil penggunaannya dalam permen.
Bahan pemanis sintetik baru yang saat ini sedang dikembangkan dan diperkirakan akan populer adalah tagalosa dan trehalosa. Tagalosa potensial digunakan dalam banyak produk seperti manisan, es krim, minuman ringan, sereal dan fungsinya sebagai pengganti tepung. Mempunyai efek sinergik dengan pemanis lain dan dapat dipasangkan dengan pemanis rendah kalori untuk meningkatkan tekstur rasa di mulut.
Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa tidak ada bahan pemanis yang sempurna. Pengalaman di lapangan dan rekomendasi dari ahli pangan sangat bermanfaat pada saat memilih dan menentukan pemanis mana yang akan digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarmadji, Slamet. 1982. Bahan – Bahan Pemanis. Agritech, Yogyakarta.
Winaryo, F.G., 1986. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.
___________. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia, Jakarta.
coliform
PEMERIKSAAN BAKTERI COLIFORM PADA MAKANAN DAN MINUMAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE MPN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Prinsip Kerja
Bakteri coliform akan tumbuh dan berkembang dalam air pada suhu dan waktu tertentu dan hasilnya dapat diamati dengan mata telanjang dengan melihat adanya gas. Gas ini merupakan fermentasi laktosa.
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum pemeriksaan bakteri coliform pada makanan dan minuman dengan menggunakan MPN adalah untuk melacak adanya bakteri coliform dalam contoh air.
C. Tinjauan Pustaka
Jenis Escherichia hanya mempunyai satu species yaitu E. Coli dan disebut koliform karena ditemukan di dalam saluran usus hewan dan manusia sehingga sering terdapat di dalam feses. Bakteri ini sering digunakan sebagai indicator kontaminasi kotoran. (Fardiaz, 1992)
Koliform sebagai suatu kelompok dicirikan sebagai bakteri berbentuk garam gram negative, tidak membentuk spora, aerobic dan anaerobic fakultatif yang memfermentasikan laktosa dengan menghasilkan asam dan gas dalam waktu 48 jam pada suhu 350 C. (Pelczar dan Chan, 1998)
Penggunaan media selektif dan diferensial sangat membantu mempercepat usaha pemeriksaan air, guna mendeteksi organisme koliform. Pemeriksaan tersebut terdiri dari 3 langkah berurutan, yaitu :
1. Uji dugaan
2. Uji diperkuat
3. Uji lengkap
(Pelczar dan Chan, 1998)
Metode MPN menggunakan medium cair di dalam tabung reaksi, dimana perhitungan jumlah tabunh yang positif yaitu yang ditumbuhi oleh jasad renik setelah inkubasi pada suhu dan waktu tertentu. Pengamatan tabung yang positif dapat dilihat dengan mengamati timbulnya kekeruhan atau terbentuknya gas di dalam tabung durham yang diletakkan pada posisi terbalik yaitu jasad renik pembentuk gas. (fardiaz, 1992)
BAB II
PROSEDUR
A. Alat
- Botol contoh steril
- Cawan Petri steril
- Pipet ukur 10 ml & 1 ml steril & filternya
- Pembakar Bunsen
- Inkubator
- Mikroskop
- Tabung reaksi
- Tabung durham
- Timbangan
- Mortal atau penggerus
B. Bahan
- Sampel (Makanan atau minuman )
- Media laktosa cair (sudah steril)
- Media BGLB (Brillian Green Bile Lactosa Broth)
- Alkohol
- Kapas, karet, label, kertas pembungkus, korek api
C. Prosedur Kerja
1. Uji dugaan
• Aseptiskan tangan, alat, dan tempat kerja
• Timbang sampel (bila sampel padat) sebanyak 10 gr masukkan ke dalam air pengencer 90 ml
• Inokulasi 3 tabung berisi masing-masing 10 ml laktosa cair konsentrasi 2X lipat (double strength lactose broth) dengan masing-masing 1 ml sampel
• Inokulasi 3 tabung berisi masing-masing 10 ml laktosa cair konsentrasi normal (single strength lactose broth) dengan masing-masing 1 ml sampel
• Inokulasi 3 tabung berisi masing-masing 10 ml media laktosa cair (single strength lactose broth) dengan masing-masing 0,1 ml sampel
• Inkubasi semua piaraan pada suhu 370C selama 2 X 24 jam
• Amati piaraan itu setiap 24 jam. Timbulnya gas dalam 24 jam menunjukkan uji positif dan apabila terbentuknya gas setelah waktu 24 jam menunjukkan hasil yang meragukan. Apabila setelah 2 X 24 jam tidak terbentuk gas, maka uji ini dikatakan hasilnya negative, yang berarti pula bahwa makanan atau minuman tidak tercemar coliform.
2. Uji Penetapan
• Aseptiskan tangan, alat dan tempat kerja.
• Ambil tabung yang positif maupun yang menggunakan dari uji duga
• Inokulasikan dengan jarum ose dari kelompok tabung LBDS, ke kelompok tabung BGLB
• Inokulasikan dengan jarum ose dari kelompok tabung LBSS, ke kelompok tabung BGLB
• Inkubasi semua piaraan pada suhu 370 selama 2 X 24 jam
• Amati piaraan itu setiap 24 jam. Timbulnya gas dalam 24 jam menunjukkan uji positif dan apabila terbentuknya gas setelah waktu 24 jam menunjukkan hasil yang meragukan. Apabila setelah 2 X 24 jam tidak terbentuk gas, maka uji ini dikatakan hasilnya negative, yang berarti pula bahwa sampel makanan atau minuman tidak tercemar coliform
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Pada tahap penduga, pada LBSD semua tabung positif, pada LBSS pertama 2 positif dan 1 negatif, sedangkan pada LBSS kedua 1 positif dan 2 negatif.
Pada tahap penetapan dengan BGLB, 1 positif dan 2 negatif.
B. Pembahasan
Dalam pemeriksaan bakteri koliform pada minuman dengan metode MPN seri 3, dilakukan melalui dua tahap yaitu :
1. Tahap uji penduga dimana pada tahap ini sampel minuman air mineral dimasukkan sebanyak 10 ml pada medium LBDS, 1ml pada medium LBSS dan 0,1 ml pada medium LBSS yang setiap pengencerannya digunakan tiga seri tabung. Setelah diinkubasi pada suhu 350C dalam waktu 2 X 24 jam maka dapat ditentukan jumlah tabung yang positif yaitu tabung yang ditumbuhi jasad renik yang dapat ditandai dengan terbentuknya gas atau kekeruhan. Hal ini terjadi karena bakteri tersebut dapat memfermentasikan laktosa. Bakteri yang dimaksud adalah koliform. Hasil yang didapatkan pada tahap uji pendugaan adalah pada pengenceran pertama ketiga tabung menghasilkan pertumbuhan positif, pada pengenceran kedua dua tabung positif dan pada pengenceran ketiga satu tabung positif sehingga kombinasinya menjadi 3,2,1. Angka kombinasi ini akan dicocokkan dengan table MPN, dan nilai MPNnya dapt dihitung sebagai berikut:
MPN sebenarnya = MPN table X 1
Pengenceran tabung tengah
= 15 X 1
1
= 15 ml sampel air mineral
Kombinasi yang dipilih muali dari pengenceran tertinggi yang masih menghasilkan semua tabung positif sedangkan pada pengenceran selanjutnya ada tabung yang negative.
2. Tahap uji penetapan, dimana pada uji ini tabung yang diindikasikan positif dan tabung yang diindikasikan negative masing-masing diinokulasikan dengan jarum ose ke tabung BLBG. Kemudian diinkubasi dalam suhu 350C selama 2 X 24 jam. Apabila hasil dari uji penetapan ini terbentuk gas maka uji ini dikatakan hasilnya positif yang artinya sampel daging ayam tercemar koliform.
Yang harus diperhatikan bila memeriksa sampel air untuk analisis bakteriologis adalah :
1. Sampel air harus ditempatkan dalam botol yang steril
2. Sampel tersebut harus dapat mewakili sumbernya
3. Sampel air tidak boleh terkontaminasi selama 3 hari setelah pengambilan
4. Sampel air tersebut harus diuji setelah pengambilan
5. Apabila ada penundaan pemeriksaan maka contoh tersebut harus disimpan pada suhu antara 0 sampai 100C.
DAFTAR PUSTAKA
Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta
Pelczar dan Chan. 1998. Dasar-dasar Mikrobiologi. UI Press : Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
A. Prinsip Kerja
Bakteri coliform akan tumbuh dan berkembang dalam air pada suhu dan waktu tertentu dan hasilnya dapat diamati dengan mata telanjang dengan melihat adanya gas. Gas ini merupakan fermentasi laktosa.
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum pemeriksaan bakteri coliform pada makanan dan minuman dengan menggunakan MPN adalah untuk melacak adanya bakteri coliform dalam contoh air.
C. Tinjauan Pustaka
Jenis Escherichia hanya mempunyai satu species yaitu E. Coli dan disebut koliform karena ditemukan di dalam saluran usus hewan dan manusia sehingga sering terdapat di dalam feses. Bakteri ini sering digunakan sebagai indicator kontaminasi kotoran. (Fardiaz, 1992)
Koliform sebagai suatu kelompok dicirikan sebagai bakteri berbentuk garam gram negative, tidak membentuk spora, aerobic dan anaerobic fakultatif yang memfermentasikan laktosa dengan menghasilkan asam dan gas dalam waktu 48 jam pada suhu 350 C. (Pelczar dan Chan, 1998)
Penggunaan media selektif dan diferensial sangat membantu mempercepat usaha pemeriksaan air, guna mendeteksi organisme koliform. Pemeriksaan tersebut terdiri dari 3 langkah berurutan, yaitu :
1. Uji dugaan
2. Uji diperkuat
3. Uji lengkap
(Pelczar dan Chan, 1998)
Metode MPN menggunakan medium cair di dalam tabung reaksi, dimana perhitungan jumlah tabunh yang positif yaitu yang ditumbuhi oleh jasad renik setelah inkubasi pada suhu dan waktu tertentu. Pengamatan tabung yang positif dapat dilihat dengan mengamati timbulnya kekeruhan atau terbentuknya gas di dalam tabung durham yang diletakkan pada posisi terbalik yaitu jasad renik pembentuk gas. (fardiaz, 1992)
BAB II
PROSEDUR
A. Alat
- Botol contoh steril
- Cawan Petri steril
- Pipet ukur 10 ml & 1 ml steril & filternya
- Pembakar Bunsen
- Inkubator
- Mikroskop
- Tabung reaksi
- Tabung durham
- Timbangan
- Mortal atau penggerus
B. Bahan
- Sampel (Makanan atau minuman )
- Media laktosa cair (sudah steril)
- Media BGLB (Brillian Green Bile Lactosa Broth)
- Alkohol
- Kapas, karet, label, kertas pembungkus, korek api
C. Prosedur Kerja
1. Uji dugaan
• Aseptiskan tangan, alat, dan tempat kerja
• Timbang sampel (bila sampel padat) sebanyak 10 gr masukkan ke dalam air pengencer 90 ml
• Inokulasi 3 tabung berisi masing-masing 10 ml laktosa cair konsentrasi 2X lipat (double strength lactose broth) dengan masing-masing 1 ml sampel
• Inokulasi 3 tabung berisi masing-masing 10 ml laktosa cair konsentrasi normal (single strength lactose broth) dengan masing-masing 1 ml sampel
• Inokulasi 3 tabung berisi masing-masing 10 ml media laktosa cair (single strength lactose broth) dengan masing-masing 0,1 ml sampel
• Inkubasi semua piaraan pada suhu 370C selama 2 X 24 jam
• Amati piaraan itu setiap 24 jam. Timbulnya gas dalam 24 jam menunjukkan uji positif dan apabila terbentuknya gas setelah waktu 24 jam menunjukkan hasil yang meragukan. Apabila setelah 2 X 24 jam tidak terbentuk gas, maka uji ini dikatakan hasilnya negative, yang berarti pula bahwa makanan atau minuman tidak tercemar coliform.
2. Uji Penetapan
• Aseptiskan tangan, alat dan tempat kerja.
• Ambil tabung yang positif maupun yang menggunakan dari uji duga
• Inokulasikan dengan jarum ose dari kelompok tabung LBDS, ke kelompok tabung BGLB
• Inokulasikan dengan jarum ose dari kelompok tabung LBSS, ke kelompok tabung BGLB
• Inkubasi semua piaraan pada suhu 370 selama 2 X 24 jam
• Amati piaraan itu setiap 24 jam. Timbulnya gas dalam 24 jam menunjukkan uji positif dan apabila terbentuknya gas setelah waktu 24 jam menunjukkan hasil yang meragukan. Apabila setelah 2 X 24 jam tidak terbentuk gas, maka uji ini dikatakan hasilnya negative, yang berarti pula bahwa sampel makanan atau minuman tidak tercemar coliform
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Pada tahap penduga, pada LBSD semua tabung positif, pada LBSS pertama 2 positif dan 1 negatif, sedangkan pada LBSS kedua 1 positif dan 2 negatif.
Pada tahap penetapan dengan BGLB, 1 positif dan 2 negatif.
B. Pembahasan
Dalam pemeriksaan bakteri koliform pada minuman dengan metode MPN seri 3, dilakukan melalui dua tahap yaitu :
1. Tahap uji penduga dimana pada tahap ini sampel minuman air mineral dimasukkan sebanyak 10 ml pada medium LBDS, 1ml pada medium LBSS dan 0,1 ml pada medium LBSS yang setiap pengencerannya digunakan tiga seri tabung. Setelah diinkubasi pada suhu 350C dalam waktu 2 X 24 jam maka dapat ditentukan jumlah tabung yang positif yaitu tabung yang ditumbuhi jasad renik yang dapat ditandai dengan terbentuknya gas atau kekeruhan. Hal ini terjadi karena bakteri tersebut dapat memfermentasikan laktosa. Bakteri yang dimaksud adalah koliform. Hasil yang didapatkan pada tahap uji pendugaan adalah pada pengenceran pertama ketiga tabung menghasilkan pertumbuhan positif, pada pengenceran kedua dua tabung positif dan pada pengenceran ketiga satu tabung positif sehingga kombinasinya menjadi 3,2,1. Angka kombinasi ini akan dicocokkan dengan table MPN, dan nilai MPNnya dapt dihitung sebagai berikut:
MPN sebenarnya = MPN table X 1
Pengenceran tabung tengah
= 15 X 1
1
= 15 ml sampel air mineral
Kombinasi yang dipilih muali dari pengenceran tertinggi yang masih menghasilkan semua tabung positif sedangkan pada pengenceran selanjutnya ada tabung yang negative.
2. Tahap uji penetapan, dimana pada uji ini tabung yang diindikasikan positif dan tabung yang diindikasikan negative masing-masing diinokulasikan dengan jarum ose ke tabung BLBG. Kemudian diinkubasi dalam suhu 350C selama 2 X 24 jam. Apabila hasil dari uji penetapan ini terbentuk gas maka uji ini dikatakan hasilnya positif yang artinya sampel daging ayam tercemar koliform.
Yang harus diperhatikan bila memeriksa sampel air untuk analisis bakteriologis adalah :
1. Sampel air harus ditempatkan dalam botol yang steril
2. Sampel tersebut harus dapat mewakili sumbernya
3. Sampel air tidak boleh terkontaminasi selama 3 hari setelah pengambilan
4. Sampel air tersebut harus diuji setelah pengambilan
5. Apabila ada penundaan pemeriksaan maka contoh tersebut harus disimpan pada suhu antara 0 sampai 100C.
DAFTAR PUSTAKA
Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta
Pelczar dan Chan. 1998. Dasar-dasar Mikrobiologi. UI Press : Jakarta
boraks
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akibat kemajuan ilmu teknologi pangan di dunia dewasa ini, maka semakin banyak jenis bahan makanan yang diproduksi, dijual, dan dikonsumsi dalam bentuk yang lebih awet dan lebih praktis dibandingkan dengan bentuk segarnya. Berkembangnya produk pangan awet tersebut hanya mungkin terjadi karena semakin tingginya kebutuhan masyarakat perkotaan terhadap berbagai jenis makanan yang praktis dan awet.
Produksi dan suplai produk jadi yang awet biasanya dilakukan secara sentral dalam pabrik pengolahan dan pengawetan makanan. Dengan demikian waktu yang diperlukan untuk menyiapkan sajian sampai siap untuk dapat disantap dapat dipersingkat, dengan hasil makanan yang sama lezatnya seperti bila diolah sendiri dari bahan segar. Di kalangan konsumen pangan masih sering terjadi kontroversi mengenai penggunaan bahan tambahan makanan di industri pangan, khususnya mengenai resiko kesehatan, terutama yang berasal dari bahan sintetik kimiawi. Sebab masalah keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia, tetapi juga telah menjadi masalah setiap orang.
Kebanyakan makanan yang dikemas mengandung bahan tambahan, yaitu suatu bahan yang dapat mengawetkan makanan atau merubahnya dengan berbagai teknik dan cara. Bahan Tambahan Makanan didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi khas makanan, dapat bernilai gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan ke dalam makanan dengan sengaja untuk membantu teknik pengolahan makanan (termasuk organoleptik) baik dalam proses pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan produk makanan olahan, agar menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu makanan yang lebih baik atau secara nyata mempengaruhi sifat khas makanan tersebut. Jadi kontaminan atau bahan-bahan lain yang ditambahkan ke dalam makanan untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu gizi bukan merupakan bahan makanan tambahan.
Bahan tambahan makanan digunakan di industri-industri makanan untuk meningkatkan mutu pangan olahan, dan penggunaan bahan tanbahan makanan tersebut dibenarkan apabila memiliki peranan sebagai berikut :
1. Untuk mempertahankan nilai gizi makanan
Sebagai contoh, penambahan bahan antioksidan seperti BHA (butil hidroksianisol) dalam pengolahan vitamin A akan mempertahankan potensi vitamin tersebut bila ditambahkan pada makanan.
2. Untuk orang tertentu yang memerlukan makanan diit
Misalnya penambahan bahan pemanis buatan seperti sakarin ke dalam makanan atau minuman, sehingga tidak menambah kalori ke dalam makanan tersebut.
3. Untuk mempertahankan mutu atau kestabilan makanan atau untuk memperbaiki sifat-sifat organoleptiknya hingga tidak menyimpang dari sifat alamiahnya, dan dapat membantu mengurangi makanan yang dibuang atau limbah.
4. Untuk keperluan pembuatan, pengolahan, penyediaan, perlakuan, pengemasan, dan pengangkutan.
5. Membuat makanan menjadi lebih menarik
Penggunaan bahan tambahan makanan seperti pewarna dan bahan pemantap tekstur memperbaiki bahan baku yang bervariasi sehingga nantinya produk akhir mempunyai penampakan, rasa, serta penampilan yang selalu sama setiap waktu.
B. Tujuan
Praktikum yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya boraks yang merupakan zat pengawet pada makanan sampel yang diuji atau diperiksa yaitu mie.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasam atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Bahan tambahan ini biasanya ditambahkan ke dalam makanan yang mudah rusak atau makanan yang disukai sebagai medium tumbuhnya bakteri atau jamur misalnya pada produk daging, buah-buahan, dsb. Pertumbuhan bakteri dicegah atau dihambat tergantung dari jumlah pengawet yang ditambahkan dan juga pH/keasaman dari makanan.
Menurut Encyclopedi Britanica dan Encyclopedi Nasional Indonesia, kata boraks berasal dari kata Arab yaitu Bauraq dan istilah melayunya tingkal yang berarti putih, merupakan kristal lunak yang mengandung unsur boron, tidak berwarna dan mudah larut dalam air. Boraks merupakan garam Natrium Na2B4O710H2O, yang banyak di gunakan di berbagai industri nonpangan, khususnya industri kertas, gelas, pengawet kayu dan keramik.
Boraks terjadi dalam suatu deposit hasil dari proses penguapan “hot spring” (pancuran air panas) atau danau garam. Boraks termasuk kelompok mineral borat, suatu jenis senyawa kimia alami yang terbentuk dari Boron (B) dan Oksigen (O). Boraks erat kaitannya dengan asam borat, dan kemungkinan besar daya pengawetan boraks disebabkan karena adanya senyawa aktif asam borat (asam borosat).
Boraks secara lokal dikenal sebagai air ”bleng”, ”garam bleng” atau ”pijer’. Disamping itu boraks juga digunakan dalam industri makanan seperti industri pembuatan mie, lontong, ketupat, pembuatan gendar. Konon pembuatan bakmi pabrik dan makaroni biasanya menggunakan asam boraks murni, suatu kristal putih produksi industri farmasi (Winarno,1994).
Sementara itu, Kepala Disperindag Pemprov Kalbar RN Silalahi mengatakan, tindakan memasukkan boraks ke dalam makanan melanggar UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan khususnya Pasal 21. Intinya, makanan yang mengandung bahan beracun dilarang diproduksi. Selain itu, perbuatan para produsen juga melanggar PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan (Anonim, 2005).
Toksisitas Boraks
Masalah boraks dalam makanan timbul di Asia, dan larangan penggunaan telah dilakukan khususnya di Thailand (1977), Indonesia (1979) dan Malaysia (1984). Apabila konsumen mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks, tidak serta merta berdampak buruk terhadap kesehatan. Tetapi boraks yang sedikit tersebut diserap dalam tubuh konsumen secara kumulatif. Di samping melalui saluran pencernaan, boraks dapat diserap melalui kulit. Dan boraks yang terlanjur terserap ke dalam tubuh dalam jumlah yang kecil dikeluarkan melalui air kemih dan tinja, serta sangat sedikit melalui keringat (Winarno, 1994). Konsumsi boraks yang tinggi jumlahnya dalam makanan dan terserap dalam tubuh akan disimpan secara kumulatif dalam hati, otak atau testis (buah zakar).
Lee dkk (dalam Winarno, 1994) menyatakan bahwa boraks dapat berpengaruh buruk seperti mengganggu berfungsinya testis (testicular). Kerusakan testis tersebut terjadi pada dosis 1170 ppm selama 90 hari dengan akibat testis mengecil dan pada dosis yang lebih tinggi yaitu 52 – 50 ppm dalam waktu 30 hari dapat mengakibatkan degenerasi gonad.
Wen dan Fisher tahun 1972 (dalam Winarno, 1994) mengutarakan bahwa boraks relatif kurang beracun apabila dikonsumsi melalui oral karena memiliki batas keamanan (reasonable margin of safety) antara dosis keracunan pada binatang dan jumlah yang sesungguhnya dikonsumsi manusia. Dalam dosis yang cukup tinggi dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, kram perut, cyanis, kompulsi. Pada anak kecil dan bayi bila dosis dalam tubuhnya sebanyak 5 gr atau lebih dapat menyebabkan kematian, sedang untuk orang dewasa, kematian terjadi pada dosis 10 – 20 gr atau lebih.
Bakso dan Mie
Mie dan bakso merupakan jenis makanan yang tergolong jenis makanan yang tergolong paling digemari di Indonesia pada umumnya terbuat dari daging sapi, tetapi dapat pula dibuat dari jenis daging lain, termasuk daging ikan. Dalam pembuatan bakso disamping daging, diperlukan bahan-bahan lain seperti, pati, es, bumbu-bumbu serta bahan kimia lain. Pada beberapa pembuat bakso komersial, beberapa zat kimia ditambahkan khususnya boraks dan tawas. Biasanya boraks dengan dosis 0,1 – 0,5% (dari berat adonan) dicampurkan ke dalam adonan, untuk mendapatkan produk bakso yang kering, kesat atau kenyal teksturnya.
Tawas (Al(SO4)3) adalah senyawa kimia berupa kristal bening. Tawas dilarutkan ke dalam air (1 – 2 gr/liter) dan air tersebut kemudian digunakan untuk merebus bakso, sisa air rebusan kemudian dibuang. Untuk menghindari bakso yang gelap, beberapa pengolah bakso kadang-kadang menggunakan bahan pemutih yang disebut Tetanium Dioksida (TiO2) sekitar 0,5-1%. Disamping senyawa-senyawa tersebut, adonan bakso masih sering ditambah dengan STPP yaitu suatu garam Natrium Tripolyphospat untuk keperluan perbaikan tekstur dan meningkatkan daya cengkeram air. Meskipun begitu STPP secara umum diijinkan dan telah banyak digunakan dalam makanan.
Sebetulnya pembuatan bakso tidak harus menggunakan berbagai bahan kimia. Dari percobaan mahasiswa Fateta IPB, bakso dapat dihasilkan dengan baik asal menggunakan air es yang bersih, biasanya cukup dengan STPP 0,25% dan dengan bahan pengawet Kalium Karbonat atau Natrium Karbonat sebagai pengganti boraks.
BAB III
ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA
A. Alat
• Timbangan dan pemberat
• Mortar
• Cawan porselin
• Water bath
• Kompor listrik
• Tinance
• Tabung reaksi dan rak
• Corong gelas
• Pengaduk
• Pinset
B. Bahan
• Sampel yaitu mie
• Larutan kapur jenuh Ca(OH)2
• H2SO4
• HCL 10%
• Kertas curcume
• Kertas saring
• Amoniak
• Methanol
• Kertas lakmus
C. Cara Kerja
1. Sampel ditimbang ± 20 gr kemudian dihaluskan dan dimasukkan ke dalam cawan porselin.
2. Ditambahkan larutan kapur sampai basa.
3. Dilarutkan dalam water bath.
4. Dipanaskan diatas kompor.
5. Dipanaskan dalam tinace sampai menjadi abu.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil pengamatan :
Pada praktikum dilakukan pembagian abu menjadi dua yaitu :
1. Sebagian abu
Ditambahkan HCl 10% sampai asam dan disaring dan masukkan kertas curcuma ke dalam air, disaring warna yang dihasilkan menjadi merah
Ditambahkan amoniak warna yang dihasilkan hijau biru tua. Hal ini berarti positif mengandung boraks.
2. Sebagian abu
Ditambahkan 5 ml H2SO4 pekat
Ditambahkan 10 ml methanol
Kemudian dibakar
Jika warna yang dihasilkan hijau berarti positif mengandung asam boraks
Berdasarkan dari hasil praktikum yang telah dilakukan terhadap sampel yaitu berupa abu dari mie yang telah dihaluskan setelah diperiksa dan diuji menunjukkan bahwa sampel positif mengandung bahan pengawet berupa boraks karena nyala api yang dihasilkan ketika dibakar adalah hijau kebiruan.
B. Pembahasan
Masyarakat banyak yang masih belum mampu membedakan jenis dan bentuk dari makanan yang mengandung bahan pengawet atau tidak. Bahan pengawet yang biasanya beredar di masyarakat dikenal dengan nama boraks atau formalin.gaya hidup manusia masa kini dengan mobilitas yang cukup tinggi, menuntut makanan yang serba instan dan tahan lama. Dalam hal ini instan pembuatannya dan tahan lama apabila disimpan.
Beberapa survei menunjukkan, alasan para produsen menggunakan bahan pengawet seperti formalin dan boraks karena daya awet dan mutu mie yang dihasilkan menjadi lebih bagus, serta murah harganya tanpa peduli bahaya yang dapat ditimbulkan. Tuntutan itu melahirkan konsekuensi yang bisa saja membahayakan, karena bahan kimia semakin lazim digunakan untuk mengawetkan makanan termasuk juga formalin yang dikenal menjadi bahan pengawet mayat. Hal tersebut ditunjang oleh perilaku konsumen yang cenderung untuk membeli makanan yang harganya lebih murah, tanpa memperhatikan kualitas makanan. Dengan demikian, penggunaan boraks dan formalin pada makanan seperti mie, bakso, kerupuk dan makanan lainnya dianggap suatu hal yang biasa. Sulitnya membedakan makanan seperti mie biasa dan mie yang dibuat dengan penambahan formalin dan boraks juga menjadi salah satu faktor pendorong perilaku konsumen itu sendiri.
Kandungan boraks atau formalin pada makanan memang sulit untuk dideteksi. Secara akurat, ia hanya bisa terdeteksi di laboratorium melalui uji boraks dan uji formalin dengan menggunakan bahan kimia lainnya. Namun makanan yang proses pembuatannya dengan zat-zat kimia berbahaya, kini sudah beredar luas di pasaran dan sangat mudah didapat.
Boraks sering digunakan untuk pengawet pada berbagai makanan seperti kerupuk gendar, kerupuk puli, gendar nasi, mie, bakso, lontong dan ketupat. Pada makanan tersebut pedagang menambahkan pengawet karena makanan-makanan tersebut mudah rusak dan busuk atau tidak bertahan lama. Bila dosisnya cukup tinggi, boraks akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, kram perut. Bahkan kematian akan terjadi pada anak kecil dan bayi, yang memiliki dosis boraks dalam tubuhnya mencapai 5 gr atau lebih. Pada orang dewasa kematian akan terjadi jika dosisnya mencapai 10 – 20 gr atau lebih (Anonim, 2005).
Dalam pelaksanaan praktikum, sampel makanan yang digunakan untuk uji boraks adalah mie yang nantinya dihaluskan. Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh hasil positif yang berarti bahwa sampel yang berupa mie kuning mengandung bahan pengawet boraks. Hal tersebut ditandai dengan adanya nyala api hijau yang dihasilkan dari pembakaran abu yang telah ditambahkan dengan eter dan dibakar.
Pedagang makanan banyak yang memanfaatkan boraks pada makanan yang dijualnya agar makanan tahan lama dan tidak mudah busuk apabila pada hari pertama penjualan tidak habis terjual, maka dapat dijual lagi di hari berikutnya. Mereka ingin memperoleh keuntungan dari makanan yang dijual tanpa mendapatkan kerugian yang besar. Selain faktor pedagangnya, konsumen yang membeli makanan pun lebih cenderung memilih makanan yang murah dan banyak tanpa memperhatikan kandungan gizi yang terdapat pada makanan tersebut. Sehingga walaupun makanan tersebut mengandung boraks, jika harganya lebih murah dan rasanya lebih enak tentu saja masyarakat lebih memilihnya dibandingkan dengan makanan-makanan yang sehat dan bebas dari boraks namun harganya mahal dan tidak awet.
Selain itu tingkat pengetahuan masyarakat mengenai bahan pengawet dan zat aditif pada makanan sangat rendah sehingga mereka tidak memperhatikan makanan yang dikonsumsinya dan bahaya apa yang bisa ditimbulkannya. Terkadang nilai gizi yang terkandung pada makanan yang dikonsumsi merekapun tidak dipedulikan. Mereka kurang menyadari pentingnya menjaga kesehatan yang salah satu caranya adalah dengan memperhatikan dan menghindari konsumsi terhadap makanan-makanan yang mengandung zat pengawet berbahaya dan mengandung zat-zat aditif yang beracun dan berlebih.
Pengawasan perorangan terhadap suatu yang dikonsumsinya, perlu lebih ditingkatkan agar kemungkinan terjadinya penyakit berbahaya bagi tubuh yang disebabkan zat pengawet, zat aditif dan lainnya dapat dicegah dan dihindari sedini mungkin. Selain itu perhatian dari pemerintah terhadap permasalahan ini harus lebih serius. Pemerintah harus menetapkan peraturan perundang-undangan khusus terhadap penggunaan zat pengawet yang berlebihan dan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan kesehatan. Peraturan perundangan tersebut harus disertai dengan sanksi-sanksi bagi mereka (masyarakat) yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan tersebut.
Dari berbagai parameter mutu pangan yaitu gizi, rasa, tekstur serta penampilan dan sebagainya, keamanan pangan merupakan parameter terpenting. Berbagai kasus keamanan telah terjadi dari yang terkecil hingga yang terbesar dan diantaranya merupakan kasus yang lama.
Berikut merupakan saran untuk mengatasinya :
1. Upaya mempersiapkan RUU Pangan perlu dipercepat, berikuty perangkat pendukung beserta peraturan-peraturan dan petunjuk pelaksanaannya.
2. Perlu dikembangkannya upaya pendidikan produsen makanan jajanan dengan bantuan pemerintah daerah.
3. Perlu dikembangkannya upaya pendidikan konsumen, khususnya melalui media elektronik seperti TV dan radio, melalui pesan-pesan keamanan pangan yang dikemas rapi (1 – 5 menit) serupa advertensi gratis.
4. Untuk menghindarkan terjadinya kesimpangan-siuran penjelasan kepada masyarakat luas mengenai keamanan pangan, perlu dibentuk suatu Tim Pakar Keamanan Pangan Nasional, yang diprakarsai oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Urusan Pangan sehingga bila ada kasus keamanan pangan, masyarakat mendapat penjelasan secara tepat, benar dan resmi (Winarno, 1994).
BAB V
KESIMPULAN
Dalam pemeriksaan bahan makanan berupa mie, dapat disimpulkan bahwa didalam mie terdapat zat atau bahan pengawet yaitu berupa boraks yang dapat membahayakan bagi kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2005.http://www.forek.or.it/detail.php?rubrik=kesehatan&beritaID=2344
.2005.http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid
1074059779.40144
Winarno, F.G. 1994. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Street Food Project. 1990. Quality and Safety of Streetfoods in West Java, An Assessment Survey. IPB-TNO-VU, Bogor.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akibat kemajuan ilmu teknologi pangan di dunia dewasa ini, maka semakin banyak jenis bahan makanan yang diproduksi, dijual, dan dikonsumsi dalam bentuk yang lebih awet dan lebih praktis dibandingkan dengan bentuk segarnya. Berkembangnya produk pangan awet tersebut hanya mungkin terjadi karena semakin tingginya kebutuhan masyarakat perkotaan terhadap berbagai jenis makanan yang praktis dan awet.
Produksi dan suplai produk jadi yang awet biasanya dilakukan secara sentral dalam pabrik pengolahan dan pengawetan makanan. Dengan demikian waktu yang diperlukan untuk menyiapkan sajian sampai siap untuk dapat disantap dapat dipersingkat, dengan hasil makanan yang sama lezatnya seperti bila diolah sendiri dari bahan segar. Di kalangan konsumen pangan masih sering terjadi kontroversi mengenai penggunaan bahan tambahan makanan di industri pangan, khususnya mengenai resiko kesehatan, terutama yang berasal dari bahan sintetik kimiawi. Sebab masalah keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia, tetapi juga telah menjadi masalah setiap orang.
Kebanyakan makanan yang dikemas mengandung bahan tambahan, yaitu suatu bahan yang dapat mengawetkan makanan atau merubahnya dengan berbagai teknik dan cara. Bahan Tambahan Makanan didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi khas makanan, dapat bernilai gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan ke dalam makanan dengan sengaja untuk membantu teknik pengolahan makanan (termasuk organoleptik) baik dalam proses pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan produk makanan olahan, agar menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu makanan yang lebih baik atau secara nyata mempengaruhi sifat khas makanan tersebut. Jadi kontaminan atau bahan-bahan lain yang ditambahkan ke dalam makanan untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu gizi bukan merupakan bahan makanan tambahan.
Bahan tambahan makanan digunakan di industri-industri makanan untuk meningkatkan mutu pangan olahan, dan penggunaan bahan tanbahan makanan tersebut dibenarkan apabila memiliki peranan sebagai berikut :
1. Untuk mempertahankan nilai gizi makanan
Sebagai contoh, penambahan bahan antioksidan seperti BHA (butil hidroksianisol) dalam pengolahan vitamin A akan mempertahankan potensi vitamin tersebut bila ditambahkan pada makanan.
2. Untuk orang tertentu yang memerlukan makanan diit
Misalnya penambahan bahan pemanis buatan seperti sakarin ke dalam makanan atau minuman, sehingga tidak menambah kalori ke dalam makanan tersebut.
3. Untuk mempertahankan mutu atau kestabilan makanan atau untuk memperbaiki sifat-sifat organoleptiknya hingga tidak menyimpang dari sifat alamiahnya, dan dapat membantu mengurangi makanan yang dibuang atau limbah.
4. Untuk keperluan pembuatan, pengolahan, penyediaan, perlakuan, pengemasan, dan pengangkutan.
5. Membuat makanan menjadi lebih menarik
Penggunaan bahan tambahan makanan seperti pewarna dan bahan pemantap tekstur memperbaiki bahan baku yang bervariasi sehingga nantinya produk akhir mempunyai penampakan, rasa, serta penampilan yang selalu sama setiap waktu.
B. Tujuan
Praktikum yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya boraks yang merupakan zat pengawet pada makanan sampel yang diuji atau diperiksa yaitu mie.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasam atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Bahan tambahan ini biasanya ditambahkan ke dalam makanan yang mudah rusak atau makanan yang disukai sebagai medium tumbuhnya bakteri atau jamur misalnya pada produk daging, buah-buahan, dsb. Pertumbuhan bakteri dicegah atau dihambat tergantung dari jumlah pengawet yang ditambahkan dan juga pH/keasaman dari makanan.
Menurut Encyclopedi Britanica dan Encyclopedi Nasional Indonesia, kata boraks berasal dari kata Arab yaitu Bauraq dan istilah melayunya tingkal yang berarti putih, merupakan kristal lunak yang mengandung unsur boron, tidak berwarna dan mudah larut dalam air. Boraks merupakan garam Natrium Na2B4O710H2O, yang banyak di gunakan di berbagai industri nonpangan, khususnya industri kertas, gelas, pengawet kayu dan keramik.
Boraks terjadi dalam suatu deposit hasil dari proses penguapan “hot spring” (pancuran air panas) atau danau garam. Boraks termasuk kelompok mineral borat, suatu jenis senyawa kimia alami yang terbentuk dari Boron (B) dan Oksigen (O). Boraks erat kaitannya dengan asam borat, dan kemungkinan besar daya pengawetan boraks disebabkan karena adanya senyawa aktif asam borat (asam borosat).
Boraks secara lokal dikenal sebagai air ”bleng”, ”garam bleng” atau ”pijer’. Disamping itu boraks juga digunakan dalam industri makanan seperti industri pembuatan mie, lontong, ketupat, pembuatan gendar. Konon pembuatan bakmi pabrik dan makaroni biasanya menggunakan asam boraks murni, suatu kristal putih produksi industri farmasi (Winarno,1994).
Sementara itu, Kepala Disperindag Pemprov Kalbar RN Silalahi mengatakan, tindakan memasukkan boraks ke dalam makanan melanggar UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan khususnya Pasal 21. Intinya, makanan yang mengandung bahan beracun dilarang diproduksi. Selain itu, perbuatan para produsen juga melanggar PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan (Anonim, 2005).
Toksisitas Boraks
Masalah boraks dalam makanan timbul di Asia, dan larangan penggunaan telah dilakukan khususnya di Thailand (1977), Indonesia (1979) dan Malaysia (1984). Apabila konsumen mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks, tidak serta merta berdampak buruk terhadap kesehatan. Tetapi boraks yang sedikit tersebut diserap dalam tubuh konsumen secara kumulatif. Di samping melalui saluran pencernaan, boraks dapat diserap melalui kulit. Dan boraks yang terlanjur terserap ke dalam tubuh dalam jumlah yang kecil dikeluarkan melalui air kemih dan tinja, serta sangat sedikit melalui keringat (Winarno, 1994). Konsumsi boraks yang tinggi jumlahnya dalam makanan dan terserap dalam tubuh akan disimpan secara kumulatif dalam hati, otak atau testis (buah zakar).
Lee dkk (dalam Winarno, 1994) menyatakan bahwa boraks dapat berpengaruh buruk seperti mengganggu berfungsinya testis (testicular). Kerusakan testis tersebut terjadi pada dosis 1170 ppm selama 90 hari dengan akibat testis mengecil dan pada dosis yang lebih tinggi yaitu 52 – 50 ppm dalam waktu 30 hari dapat mengakibatkan degenerasi gonad.
Wen dan Fisher tahun 1972 (dalam Winarno, 1994) mengutarakan bahwa boraks relatif kurang beracun apabila dikonsumsi melalui oral karena memiliki batas keamanan (reasonable margin of safety) antara dosis keracunan pada binatang dan jumlah yang sesungguhnya dikonsumsi manusia. Dalam dosis yang cukup tinggi dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, kram perut, cyanis, kompulsi. Pada anak kecil dan bayi bila dosis dalam tubuhnya sebanyak 5 gr atau lebih dapat menyebabkan kematian, sedang untuk orang dewasa, kematian terjadi pada dosis 10 – 20 gr atau lebih.
Bakso dan Mie
Mie dan bakso merupakan jenis makanan yang tergolong jenis makanan yang tergolong paling digemari di Indonesia pada umumnya terbuat dari daging sapi, tetapi dapat pula dibuat dari jenis daging lain, termasuk daging ikan. Dalam pembuatan bakso disamping daging, diperlukan bahan-bahan lain seperti, pati, es, bumbu-bumbu serta bahan kimia lain. Pada beberapa pembuat bakso komersial, beberapa zat kimia ditambahkan khususnya boraks dan tawas. Biasanya boraks dengan dosis 0,1 – 0,5% (dari berat adonan) dicampurkan ke dalam adonan, untuk mendapatkan produk bakso yang kering, kesat atau kenyal teksturnya.
Tawas (Al(SO4)3) adalah senyawa kimia berupa kristal bening. Tawas dilarutkan ke dalam air (1 – 2 gr/liter) dan air tersebut kemudian digunakan untuk merebus bakso, sisa air rebusan kemudian dibuang. Untuk menghindari bakso yang gelap, beberapa pengolah bakso kadang-kadang menggunakan bahan pemutih yang disebut Tetanium Dioksida (TiO2) sekitar 0,5-1%. Disamping senyawa-senyawa tersebut, adonan bakso masih sering ditambah dengan STPP yaitu suatu garam Natrium Tripolyphospat untuk keperluan perbaikan tekstur dan meningkatkan daya cengkeram air. Meskipun begitu STPP secara umum diijinkan dan telah banyak digunakan dalam makanan.
Sebetulnya pembuatan bakso tidak harus menggunakan berbagai bahan kimia. Dari percobaan mahasiswa Fateta IPB, bakso dapat dihasilkan dengan baik asal menggunakan air es yang bersih, biasanya cukup dengan STPP 0,25% dan dengan bahan pengawet Kalium Karbonat atau Natrium Karbonat sebagai pengganti boraks.
BAB III
ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA
A. Alat
• Timbangan dan pemberat
• Mortar
• Cawan porselin
• Water bath
• Kompor listrik
• Tinance
• Tabung reaksi dan rak
• Corong gelas
• Pengaduk
• Pinset
B. Bahan
• Sampel yaitu mie
• Larutan kapur jenuh Ca(OH)2
• H2SO4
• HCL 10%
• Kertas curcume
• Kertas saring
• Amoniak
• Methanol
• Kertas lakmus
C. Cara Kerja
1. Sampel ditimbang ± 20 gr kemudian dihaluskan dan dimasukkan ke dalam cawan porselin.
2. Ditambahkan larutan kapur sampai basa.
3. Dilarutkan dalam water bath.
4. Dipanaskan diatas kompor.
5. Dipanaskan dalam tinace sampai menjadi abu.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil pengamatan :
Pada praktikum dilakukan pembagian abu menjadi dua yaitu :
1. Sebagian abu
Ditambahkan HCl 10% sampai asam dan disaring dan masukkan kertas curcuma ke dalam air, disaring warna yang dihasilkan menjadi merah
Ditambahkan amoniak warna yang dihasilkan hijau biru tua. Hal ini berarti positif mengandung boraks.
2. Sebagian abu
Ditambahkan 5 ml H2SO4 pekat
Ditambahkan 10 ml methanol
Kemudian dibakar
Jika warna yang dihasilkan hijau berarti positif mengandung asam boraks
Berdasarkan dari hasil praktikum yang telah dilakukan terhadap sampel yaitu berupa abu dari mie yang telah dihaluskan setelah diperiksa dan diuji menunjukkan bahwa sampel positif mengandung bahan pengawet berupa boraks karena nyala api yang dihasilkan ketika dibakar adalah hijau kebiruan.
B. Pembahasan
Masyarakat banyak yang masih belum mampu membedakan jenis dan bentuk dari makanan yang mengandung bahan pengawet atau tidak. Bahan pengawet yang biasanya beredar di masyarakat dikenal dengan nama boraks atau formalin.gaya hidup manusia masa kini dengan mobilitas yang cukup tinggi, menuntut makanan yang serba instan dan tahan lama. Dalam hal ini instan pembuatannya dan tahan lama apabila disimpan.
Beberapa survei menunjukkan, alasan para produsen menggunakan bahan pengawet seperti formalin dan boraks karena daya awet dan mutu mie yang dihasilkan menjadi lebih bagus, serta murah harganya tanpa peduli bahaya yang dapat ditimbulkan. Tuntutan itu melahirkan konsekuensi yang bisa saja membahayakan, karena bahan kimia semakin lazim digunakan untuk mengawetkan makanan termasuk juga formalin yang dikenal menjadi bahan pengawet mayat. Hal tersebut ditunjang oleh perilaku konsumen yang cenderung untuk membeli makanan yang harganya lebih murah, tanpa memperhatikan kualitas makanan. Dengan demikian, penggunaan boraks dan formalin pada makanan seperti mie, bakso, kerupuk dan makanan lainnya dianggap suatu hal yang biasa. Sulitnya membedakan makanan seperti mie biasa dan mie yang dibuat dengan penambahan formalin dan boraks juga menjadi salah satu faktor pendorong perilaku konsumen itu sendiri.
Kandungan boraks atau formalin pada makanan memang sulit untuk dideteksi. Secara akurat, ia hanya bisa terdeteksi di laboratorium melalui uji boraks dan uji formalin dengan menggunakan bahan kimia lainnya. Namun makanan yang proses pembuatannya dengan zat-zat kimia berbahaya, kini sudah beredar luas di pasaran dan sangat mudah didapat.
Boraks sering digunakan untuk pengawet pada berbagai makanan seperti kerupuk gendar, kerupuk puli, gendar nasi, mie, bakso, lontong dan ketupat. Pada makanan tersebut pedagang menambahkan pengawet karena makanan-makanan tersebut mudah rusak dan busuk atau tidak bertahan lama. Bila dosisnya cukup tinggi, boraks akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, kram perut. Bahkan kematian akan terjadi pada anak kecil dan bayi, yang memiliki dosis boraks dalam tubuhnya mencapai 5 gr atau lebih. Pada orang dewasa kematian akan terjadi jika dosisnya mencapai 10 – 20 gr atau lebih (Anonim, 2005).
Dalam pelaksanaan praktikum, sampel makanan yang digunakan untuk uji boraks adalah mie yang nantinya dihaluskan. Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh hasil positif yang berarti bahwa sampel yang berupa mie kuning mengandung bahan pengawet boraks. Hal tersebut ditandai dengan adanya nyala api hijau yang dihasilkan dari pembakaran abu yang telah ditambahkan dengan eter dan dibakar.
Pedagang makanan banyak yang memanfaatkan boraks pada makanan yang dijualnya agar makanan tahan lama dan tidak mudah busuk apabila pada hari pertama penjualan tidak habis terjual, maka dapat dijual lagi di hari berikutnya. Mereka ingin memperoleh keuntungan dari makanan yang dijual tanpa mendapatkan kerugian yang besar. Selain faktor pedagangnya, konsumen yang membeli makanan pun lebih cenderung memilih makanan yang murah dan banyak tanpa memperhatikan kandungan gizi yang terdapat pada makanan tersebut. Sehingga walaupun makanan tersebut mengandung boraks, jika harganya lebih murah dan rasanya lebih enak tentu saja masyarakat lebih memilihnya dibandingkan dengan makanan-makanan yang sehat dan bebas dari boraks namun harganya mahal dan tidak awet.
Selain itu tingkat pengetahuan masyarakat mengenai bahan pengawet dan zat aditif pada makanan sangat rendah sehingga mereka tidak memperhatikan makanan yang dikonsumsinya dan bahaya apa yang bisa ditimbulkannya. Terkadang nilai gizi yang terkandung pada makanan yang dikonsumsi merekapun tidak dipedulikan. Mereka kurang menyadari pentingnya menjaga kesehatan yang salah satu caranya adalah dengan memperhatikan dan menghindari konsumsi terhadap makanan-makanan yang mengandung zat pengawet berbahaya dan mengandung zat-zat aditif yang beracun dan berlebih.
Pengawasan perorangan terhadap suatu yang dikonsumsinya, perlu lebih ditingkatkan agar kemungkinan terjadinya penyakit berbahaya bagi tubuh yang disebabkan zat pengawet, zat aditif dan lainnya dapat dicegah dan dihindari sedini mungkin. Selain itu perhatian dari pemerintah terhadap permasalahan ini harus lebih serius. Pemerintah harus menetapkan peraturan perundang-undangan khusus terhadap penggunaan zat pengawet yang berlebihan dan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan kesehatan. Peraturan perundangan tersebut harus disertai dengan sanksi-sanksi bagi mereka (masyarakat) yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan tersebut.
Dari berbagai parameter mutu pangan yaitu gizi, rasa, tekstur serta penampilan dan sebagainya, keamanan pangan merupakan parameter terpenting. Berbagai kasus keamanan telah terjadi dari yang terkecil hingga yang terbesar dan diantaranya merupakan kasus yang lama.
Berikut merupakan saran untuk mengatasinya :
1. Upaya mempersiapkan RUU Pangan perlu dipercepat, berikuty perangkat pendukung beserta peraturan-peraturan dan petunjuk pelaksanaannya.
2. Perlu dikembangkannya upaya pendidikan produsen makanan jajanan dengan bantuan pemerintah daerah.
3. Perlu dikembangkannya upaya pendidikan konsumen, khususnya melalui media elektronik seperti TV dan radio, melalui pesan-pesan keamanan pangan yang dikemas rapi (1 – 5 menit) serupa advertensi gratis.
4. Untuk menghindarkan terjadinya kesimpangan-siuran penjelasan kepada masyarakat luas mengenai keamanan pangan, perlu dibentuk suatu Tim Pakar Keamanan Pangan Nasional, yang diprakarsai oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Urusan Pangan sehingga bila ada kasus keamanan pangan, masyarakat mendapat penjelasan secara tepat, benar dan resmi (Winarno, 1994).
BAB V
KESIMPULAN
Dalam pemeriksaan bahan makanan berupa mie, dapat disimpulkan bahwa didalam mie terdapat zat atau bahan pengawet yaitu berupa boraks yang dapat membahayakan bagi kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2005.http://www.forek.or.it/detail.php?rubrik=kesehatan&beritaID=2344
.2005.http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid
1074059779.40144
Winarno, F.G. 1994. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Street Food Project. 1990. Quality and Safety of Streetfoods in West Java, An Assessment Survey. IPB-TNO-VU, Bogor.
Langganan:
Postingan (Atom)